Ia menyoroti absennya payung hukum yang komprehensif bagi masyarakat adat, yang selama ini hanya diatur dalam sejumlah undang-undang sektoral, seperti UU Kehutanan, UU Agraria, UU Desa, dan UU Pesisir. Fragmentasi regulasi tersebut menciptakan tumpang tindih dan kebingungan hukum di lapangan.
“Ketiadaan regulasi yang kuat menyebabkan masyarakat adat seringkali menjadi korban kriminalisasi dan kesewenang-wenangan, terutama dalam konflik agraria,” tambahnya.
RUU MHA, menurut Iman, tidak hanya berdimensi konstitusional dan sosial, tetapi juga memiliki landasan moral dan religius yang kuat. Ia mengutip sejumlah dalil Alquran, seperti QS Al Ma’idah ayat 8 tentang keadilan, serta hadis Nabi Muhammad SAW dan kaidah fiqih: "Dar’ al-mafsadah muqaddam ‘alā jalb al-maṣlaḥah" (mencegah kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan).
“RUU ini adalah ikhtiar strategis, bukan sekadar formalitas legislasi. Ini untuk menjawab kesenjangan hukum dan memperkuat keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini belum mendapatkan perlindungan yang layak,” tegas Iman.