Puncak ketegangan terjadi ketika Smissaert dan Pangeran Danurejo memerintahkan pemasangan anjir (pancang) sebagai tanda pembangunan jalan baru yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk mencabuti pancang-pancang tersebut. Dalam memoarnya, Diponegoro menulis: "Sesudah salat Asar saya keluar rumah melihat ada gerombolan orang. Saya bertanya kepada seorang pembantu saya, Ki Soban namanya." 'Soban, apa yang terjadi kok banyak orang bergerombol?'
'Orang dari luar, Gusti. Utusan Patih akan membuat jalan.' Saya panggil pembantu lain, Mangunharjo. 'Apa yang terjadi, Mangunharjo? Kenapa tidak memberi tahu saya? Cabut semua pancang itu!'”
Setelah Residen menerima laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh pengikut Diponegoro, Danurejo memerintahkan pemasangan kembali pancang-pancang tersebut dengan dikawal pasukan Macanan, yakni pasukan pengawal utama dari Kepatihan.
Namun, pengikut Diponegoro kembali mencabuti pancang-pancang yang baru. Mereka bahkan mengganti pancang-pancang tersebut dengan tombak, sebagai bentuk perlawanan simbolik yang semakin mempertegas bahwa konflik telah mencapai titik didih.
(Arief Setyadi )