Prof. Susanto Zuhdi menyampaikan bahwa sejarah yang ditulis kali ini bertujuan untuk membangun kerangka konseptual dalam memahami masa lalu secara kontekstual dan relevan dengan persoalan bangsa hari ini. “Sejarah kebangsaan adalah suatu keniscayaan yang harus kita tulis,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Singgih menjelaskan bahwa buku ini menawarkan aspek pembaruan, antara lain: pengayaan fakta, metodologi, perspektif, dan paradigma. “Melalui pendekatan yang kritis dan reflektif, kami berharap buku ini mampu menjadi lentera yang menerangi jalan bangsa menuju keadilan, persatuan, dan kemajuan,” ucapnya.
Para editor jilid yang memaparkan isi sepuluh jilid utama buku sejarah ini, antara lain Prof. Akin Duli, Wanny Rahardjo, Prof. Usep Abdul Matin, Zacky Khairul Umam, Prof. Sarkawi, Prof. Purnawan Basundoro, Prof. Endang Susilowati, Nur Aini Setiawati, Prof. Erniwati, dan Linda Sunarti.
Diskusi publik ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, seperti akademisi, mahasiswa, budayawan, asosiasi profesi, hingga masyarakat umum. Turut hadir dalam diskusi, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Ibnu Hamad, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Sinatriyo Danuhadiningrat, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, serta jajaran pimpinan UNM.
Sesi tanya jawab menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Muhammad Idris, guru asal Sulawesi Barat, menyampaikan harapannya agar buku sejarah ini dapat menjadi sumber pembelajaran yang kaya bagi siswa, serta perlunya sinergi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Hal senada disampaikan oleh Arif Sigit, budayawan Sulawesi Selatan, yang berharap adanya kanal aspirasi publik di luar forum diskusi ini. Dari ruang Zoom, Andi Emil Fitrah turut mempertanyakan rencana implementasi buku ini ke dalam kurikulum serta kemungkinan pelibatan tokoh-tokoh lokal.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Susanto Zuhdi menjelaskan bahwa keterbatasan jumlah jilid menyebabkan tidak semua sejarah lokal dapat dimuat. Namun demikian, ia menyebut bahwa penulisan sejarah lokal secara terpisah tetap menjadi agenda tersendiri. Ia juga kembali menegaskan bahwa seluruh proses penulisan berlangsung secara independen, bebas dari intervensi pihak mana pun.