Tianhong Technology asal Kanada resmi tutup pada 1 Juli. Beberapa minggu kemudian, Wuzhu Electronic Technology, produsen semikonduktor dengan pendapatan tahunan 1,5 miliar yuan (sekitar Rp3,375 triliun) dan hampir 6.000 karyawan, mengajukan kebangkrutan dan likuidasi pada 22 Juli.
Penurunan permintaan, terutama dari pasar internasional, berdampak pada stabilitas operasional perusahaan-perusahaan tersebut. Pemutusan hubungan kerja meluas, menghilangkan lapangan kerja dan menimbulkan ketidakpastian bagi banyak keluarga. Seluruh rantai pasokan, mulai dari pemasok bahan baku hingga perusahaan logistik, mengalami tekanan berkelanjutan.
Krisis meluas ke luar Dongguan. Di Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong, data resmi menunjukkan gelombang besar pencabutan pendaftaran usaha.
Antara Januari dan Mei, 72.769 perusahaan dicabut pendaftarannya—rata-rata 482 penutupan per hari.
Angka ini menggarisbawahi bahwa yang terjadi di Delta Sungai Mutiara bukan sekadar kejadian terisolasi, melainkan keruntuhan sistemik.
Penutupan pabrik mencakup berbagai industri, seperti elektronik, tekstil, permesinan, dan barang konsumsi.
Model ekspansi industri yang pesat yang dulu digembar-gemborkan kini tampak tidak berkelanjutan, dengan kelebihan kapasitas, utang menumpuk, dan menurunnya permintaan global yang berpadu menjadi badai kontraksi yang berat.
Wilayah yang dulu jadi simbol keajaiban ekonomi China kini menjadi simbol kemunduran.
Partai Komunis China (PKC) terus menggembar-gemborkan narasi ketahanan, menyoroti angka pertumbuhan PDB yang "lebih baik dari perkiraan" serta metrik-metrik selektif sebagai bukti pemulihan.
Namun, kontraksi yang tercermin dalam PMI, disertai penutupan pabrik yang meluas, menunjukkan realitas yang berbeda di lapangan.