JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer (Noel) menjadi tersangka pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kemenaker.
Perkara itu bermula dari tenaga kerja atau buruh pada bidang dan spesifikasi tertentu yang diwajibkan memiliki sertifikasi K3 dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman sehingga meningkatkan produktivitas pekerja.
Namun belakangan KPK menemukan bahwa tarif sertifikasi K3 sebesar Rp275 ribu justru tidak sesuai. Fakta di lapangan justru menunjukkan pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp6 juta untuk penerbitan sertifikasi itu.
"Karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih," ujar Ketua KPK, Setyo Budiyanto, Jumat (22/8/2025).
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menambahkan, KPK menyebut dugaan tindak pidana pemerasan ini berlangsung sejak 2020 hingga operasi tangkap tangan ini dilakukan. KPK menyebut Noel juga termasuk seseorang yang mengetahui praktik ini hingga mendapatkan aliran dana alias keuntungan.
"Ini ketika dia (Noel) masuk (kabinet) sampai 2025 ini masih berjalan, praktik pemerasan ini masih berjalan. Bahkan kami saat melaksanakan tangkap tangan itu sedang berjalan. Artinya bahwa IEG (Noel) itu seperti yang dijelaskan pak Ketua, mengetahui, membiarkan bahkan menerima, menerima sesuatu," ujarnya.
KPK setidaknya menemukan Rp81 miliar uang yang merupakan selisih antara pembayaran sertifikasi K3 yang dibayarkan oleh buruh. Dana itu awalnya diterima oleh Perusahaan Jasa penerbitkan K3 yang kemudian uang itu mengalir ke sejumlah pihak termasuk Noel.
Alliran dana Rp81 miliar itu mengalir ke:
1. Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3, Irvian Bobby Mahendro sebesar Rp69 miliar melaluin perantara. Uang tersebut digunakan untuk belanja, hiburan, DP rumah, setoran tunai kepada Koordinato Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi K3, Gerry Aditya Herwanto Putra dan Direktur Bina Kelembagaan 2021- Februari 2025 Hery Sutanto dan pihak lainnya dan digunakan untuk pembelian sejumlah aset seperti beberapa unit kendaraan roda empat hingga penyertaan modal pada 3 (tiga) perusahaan yang terafiliasi PJK3.
2. Gerry Aditya Herwanto Putra diduga menerima uang sejumlah Rp3 miliar dalam kurun tahun 2020 - 2025, yang berasal dari sejumlah transaksi, diantaranya: setoran tunai mencapai Rp 2,73 miliar; transfer dari Irvian sebesar Rp317juta; dan dua perusahaan di bidang PJK3 dengan total Rp31,6 juta.
Uang tersebut digunakan Gerry untuk keperluan pribadi, dibelikan aset dalambentuk 1 (satu) unit kendaraan roda empat sekitar Rp500 juta dan transferkepada pihak lainnya senilai Rp2,53 miliar.
3. Subhan selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Direktorat Bina K3 tahun 2020-2025 sejumlah Rp3,5 miliar padakurun waktu 2020-2025, yang diterimanya dari sekitar 80 perusahaan di bidang PJK3. Uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi diantaranya:transfer ke pihak lainnya, belanja, hingga melakukan penarikan tunai sebesarRp291 juta.
4. Anitasari Kusumawati selaku Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020-2025 sejumlah Rp5,5 miliar pada kurun waktu 2021-2024, dari pihak perantara. Atas penerimaan tersebut, aliran dana juga diduga mengalir ke pihak-pihak lainnya.
5. Uang tersebut juga mengalir ke Wamenaker, Immanuel Ebenezer sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024; FAH dan HR sebesar Rp50 juta per minggu. HS lebih dari Rp1,5 miliar selama kurun waktu 2021-2024; serta CFH berupa 1 (satu) unit kendaraan roda empat.
KPK selanjutnya melakukan penahanan terhadap para Tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung tanggal 22 Agustus s.d 10 September 2025 di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih.
Atas perbuatannya, para Tersangka dipersangkakan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(Fahmi Firdaus )