Menurut Margaret, anak-anak merupakan kelompok rentan, memiliki filter yang lemah untuk bisa membedakan hal-hal positif dan negatif sehingga menjadi kelompok yang sangat mudah diajak/diprovokasi, termasuk dalam aksi demo dan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Hal itu terbukti dengan pengakuan anak-anak yang mengaku ikut aksi demo karena ajakan teman/kakak kelas/alumni/media sosial atas isu tentang menolak kenaikan gaji/tunjangan DPR serta menolak adanya statement terkait “guru adalah beban negara” (hasil pengawasan KPAI di Polda Metro Jaya).
“Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Pelibatan anak-anak dalam aksi demo yang rusuh dan anarkisme ini tentu sangat membahayakan anak. Kondisi yang demikian membuka peluang anak-anak akan menjadi korban dan menderita kerugian baik moril maupun non materiil,” katanya.
Ia menambahkan, dalam menangani permasalahan ini, aparat penegak hukum hendaknya memperlakukan anak-anak sesuai dengan yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan terkait, terutama yang diatur dalam SPPA yaitu hendaknya tidak melalukan penyiksaan dan memperlakukan mereka dengan manusiawi dan tidak memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kejam.
“Anak-anak seharusnya tidak boleh diborgol tangannya dalam proses penyelidikan, maksimal diperiksa 1x24 jam, dikembalikan ke orangtua,” katanya.
Selain itu, penetapan anak sebagai anak pelaku harus didasarkan pada bukti yang kuat dengan indikasi pidana dan tuntutannya setengah dari pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak yang turut melakukan demo tidak serta-merta bisa dipidana karena itu adalah hak mereka dalam menyampaikan pendapat dan dijamin UU.