JAKARTA – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menegaskan, anak-anak yang ikut demonstrasi tidak serta merta bisa dipidana. Sebab, setiap anak berhak untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai.
“Hak tersebut dijamin dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No 36/1990,” ujarnya, Rabu (3/9/2025).
Margaret menjelaskan, dalam konvensi tersebut diatur beberapa hal meliputi kebebasan berekspresi (Pasal 13), berkumpul secara damai (Pasal 15), dan larangan penyiksaan dan perlakuan kejam (Pasal 37). Selain Konvensi Hak Anak tersebut, terdapat Hukum Nasional yang juga menegaskan perlindungan yang sama, yaitu Undang-Undang 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memuat aturan yang sama.
Dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam kerusuhan sosial, serta pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Selain itu, anak-anak juga mempunyai hak untuk tidak dieksploitasi dalam kegiatan politik.
“Dalam UU 11/2012 juga diatur adanya kewajiban pendampingan hukum dan pendekatan restoratif pada setiap tahap proses,” katanya.
Menurut Margaret, anak-anak merupakan kelompok rentan, memiliki filter yang lemah untuk bisa membedakan hal-hal positif dan negatif sehingga menjadi kelompok yang sangat mudah diajak/diprovokasi, termasuk dalam aksi demo dan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Hal itu terbukti dengan pengakuan anak-anak yang mengaku ikut aksi demo karena ajakan teman/kakak kelas/alumni/media sosial atas isu tentang menolak kenaikan gaji/tunjangan DPR serta menolak adanya statement terkait “guru adalah beban negara” (hasil pengawasan KPAI di Polda Metro Jaya).
“Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Pelibatan anak-anak dalam aksi demo yang rusuh dan anarkisme ini tentu sangat membahayakan anak. Kondisi yang demikian membuka peluang anak-anak akan menjadi korban dan menderita kerugian baik moril maupun non materiil,” katanya.
Ia menambahkan, dalam menangani permasalahan ini, aparat penegak hukum hendaknya memperlakukan anak-anak sesuai dengan yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan terkait, terutama yang diatur dalam SPPA yaitu hendaknya tidak melalukan penyiksaan dan memperlakukan mereka dengan manusiawi dan tidak memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kejam.
“Anak-anak seharusnya tidak boleh diborgol tangannya dalam proses penyelidikan, maksimal diperiksa 1x24 jam, dikembalikan ke orangtua,” katanya.
Selain itu, penetapan anak sebagai anak pelaku harus didasarkan pada bukti yang kuat dengan indikasi pidana dan tuntutannya setengah dari pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak yang turut melakukan demo tidak serta-merta bisa dipidana karena itu adalah hak mereka dalam menyampaikan pendapat dan dijamin UU.
Selain itu, anak-anak yang diamankan oleh aparat penegak hukum juga hendaknya dapat terpenuhi hak-hak dasar mereka. Orang tua/sekolah/lingkungan masyarakat terdekat dengan anak juga perlu mengedukasi anaknya agar kritis, konstruktif, dan tidak mudah terprovokasi.
Margaret menekankan, jika anak-anak tentu memerlukan adanya penguatan edukasi terkait dengan pendidikan demokrasi, pengetahuan bahwa memiliki hak untuk berpendapat, bersuara, dan berekspresi sesuai dengan yang diperbolehkan dalam UU. Termasuk dalam hal ini adalah menyuarakan pendapat dalam forum-forum yang positif dan aman, seperti forum anak dan lain sebagainya.
Kemudian, edukasi tentang cerdas dan bijak dalam bermedia sosial, mengingat banyak sekali ajakan dan provokasi untuk ikut aksi dalam demonstrasi yang mengarah pada kerusuhan dan anarkis melalui media sosial. Selain itu, diberikan pembekalan terkait dengan menghindarkan diri atau mengamankan diri dari tindakan yang mengarah pada kekerasan dan peristiwa yang mengarah pada kerusuhan dan anarkis.
“Orangtua/sekolah/lingkungan masyarakat juga perlu mengetahui dan melakukan pengawasan terhadap aktifitas anaknya, termasuk aktifitas anak di ruang digital,” pungkasnya.
(Arief Setyadi )