JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI, Junico Siahaan, menyoroti rencana Tentara Nasional Indonesia (TNI) melaporkan CEO Malaka Project sekaligus influencer, Ferry Irwandi, ke polisi terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik akibat pendapatnya di media sosial. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum dilakukan secara proporsional.
Junico menilai aparat penegak hukum perlu mempertimbangkan urgensi dan dampak suatu kasus secara lebih menyeluruh sebelum menetapkan langkah hukum. Hal ini terkait dengan kemungkinan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada Ferry Irwandi.
“Dalam konteks UU ITE, kita perlu memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara proporsional. Banyak kasus lain yang secara substansi lebih mendesak dan berdampak luas yang juga perlu mendapat perhatian aparat,” kata Junico, Sabtu (13/9/2025).
Sebagai informasi, Ferry Irwandi juga dikenal sebagai konten kreator dan YouTuber. Belakangan, mantan PNS di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI ini kerap tampil menyuarakan 17+8 Tuntutan Rakyat dalam aksi unjuk rasa pada 25-31 Agustus lalu.
Junico pun mempertanyakan dasar TNI ingin melaporkan Ferry atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Padahal banyak kasus yang lebih urgent untuk ditindak karena melanggar UU ITE,” tukasnya.
Seperti diketahui, Dansatsiber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring, Danpuspom TNI Mayjen Yusri Nuryanto, dan Kapuspen TNI Brigjen Freddy Ardianzah mendatangi Polda Metro Jaya pada Senin (8/9) untuk berkonsultasi terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan Ferry Irwandi, berdasarkan hasil patroli siber.
Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Freddy Ardianzah menyinggung adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pencemaran nama baik tidak bisa dilaporkan institusi. Saat ini, TNI masih dalam tahap konsultasi hukum dengan Polda Metro terkait pernyataan maupun tindakan Ferry Irwandi.
Sementara itu, Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, menjelaskan bahwa Satuan Siber TNI tidak bisa melaporkan Ferry Irwandi dalam kasus pencemaran nama baik. Hal tersebut tertuang dalam UU ITE setelah adanya Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024.
Putusan MK menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE harus dibatasi hanya untuk individu perseorangan yang merasa dirugikan, dan tidak mencakup lembaga pemerintah, korporasi, profesi, atau jabatan, termasuk institusi militer.
Terkait hal itu, Junico menekankan bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengan penyebaran hoaks, ujaran kebencian berbasis SARA, peretasan, dan pelanggaran privasi di ruang digital berdampak langsung terhadap ketertiban sosial serta keamanan masyarakat.
Oleh karena itu, pria yang akrab disapa Nico Siahaan ini mengingatkan agar aparat penegak hukum fokus menangani kasus-kasus tersebut.
“Perhatian penegak hukum sebaiknya tidak hanya difokuskan pada kasus perorangan yang dinilai tidak mengandung ancaman langsung terhadap kepentingan publik secara luas,” tutur Nico Siahaan.
Anggota komisi bidang pertahanan, komunikasi, dan informatika itu juga menekankan pentingnya melindungi kebebasan berekspresi setiap warga negara, yang termaktub dalam konstitusi negara, yakni UUD 1945.
“Dalam negara demokrasi, lembaga negara, termasuk institusi pertahanan, harus menunjukkan keteladanan dalam menyikapi kritik dan ekspresi warga negara,” ungkapnya.
“Ruang digital adalah ruang publik, yang tidak bisa serta-merta disterilkan dari suara-suara yang berbeda pendapat,” lanjut Nico.
Nico pun menambahkan, Komisi I DPR RI terus mendorong agar UU ITE digunakan secara bijak. Ia mengingatkan peran aparat penegak hukum sangat strategis dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepastian hukum.
“Kami tidak dalam posisi membenarkan pelanggaran hukum dalam bentuk apa pun, tetapi kami mendorong adanya proporsionalitas,” sebutnya.
“Kasus seperti ini seharusnya bisa dikedepankan melalui mediasi, bukan langsung proses pidana, apalagi jika substansi kritiknya masih dalam batas wajar,” imbuh Nico.
Lebih lanjut, Nico memastikan Komisi I DPR berkomitmen terus mengawal kebebasan berekspresi sekaligus mendorong ruang digital yang sehat, terbuka, dan adil bagi semua pihak.
“Proses hukum tidak boleh dijadikan instrumen pembatas aspirasi rakyat, melainkan harus menjadi jaminan atas rasa aman dan keadilan bagi seluruh warga negara,” pungkasnya.
(Awaludin)