JAKARTA - China menampilkan narasi lingkungan yang berjalan di dua jalur berbeda. Secara domestik, negara ini mempromosikan citranya sebagai pemimpin iklim global. Upaya ini diwujudkan melalui proyek-proyek ambisius seperti aforestasi "Sabuk Pelindung Tiga Utara" dan investasi masif pada energi terbarukan, salah satunya adalah ladang fotovoltaik surya terbesar di dunia di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang.
Sebagai bagian dari komitmennya, China menargetkan penanaman dan konservasi 70 miliar pohon hingga tahun 2030. Upaya perluasan hutan dan penyerap karbon ini merupakan bagian dari filosofi "peradaban ekologis" yang menekankan keselarasan antara pembangunan dan alam.
Akan tetapi, citra tersebut berjalan paralel dengan jejak lingkungan China yang meluas di kancah internasional. Aktivitas perdagangan komoditas yang memiliki risiko deforestasi serta implementasi Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) disebut-sebut telah menimbulkan kerusakan ekologis di sejumlah negara di kawasan Selatan (Global South).
Permintaan China akan kedelai, daging sapi, minyak sawit, dan kayu tropis telah menjadikannya kekuatan dominan dalam deforestasi global. Menurut laporan Forest Trends tahun 2025, jejak deforestasi tropis China—yang terkait dengan impor komoditas pertanian dan kayu berisiko tinggi—menyumbang hingga 5% dari emisi karbon global akibat deforestasi tropis dan subtropis antara tahun 2013 dan 2022. Emisi terselubung ini, yang timbul dari produksi barang yang dikonsumsi di China tetapi diproduksi di tempat lain, tidak dihitung dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) China di bawah Perjanjian Paris. Ketiadaan perhitungan ini menciptakan kesenjangan kredibilitas iklim yang signifikan, memungkinkan China untuk mengklaim kemajuan dalam emisi domestik sambil "mengekspor" degradasi lingkungan ke negara lain.
Dilansir The Hong Kong Post, Selasa, (16/9/2025), permintaan komoditas China dari luar negeri telah menimbulkan konsekuensi ekologis yang nyata. Deforestasi yang didorong oleh impor dari Brasil, Indonesia, dan Malaysia diperkirakan menyumbang emisi karbon sekitar 200 juta metrik ton per tahun, atau setara dengan 20–30% dari emisi pertanian domestik China.
Di Brasil, khususnya di Cekungan Amazon, permintaan China akan kedelai dan daging sapi menjadi pendorong utama hilangnya hutan. Sebagai gambaran, pada tahun 2022, 96% dari total impor kedelai China datang dari area yang terkait dengan deforestasi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa yang hanya 55%, menunjukkan dampak China yang tidak proporsional terhadap Amazon. Kondisi ini mengancam upaya Brasil dalam menekan laju deforestasi, meskipun negara tersebut telah menerapkan berbagai reformasi kebijakan dan perlindungan wilayah adat.
Kondisi serupa juga terlihat di Indonesia. Di satu sisi, China berinvestasi pada sektor energi bersih dan infrastruktur melalui BRI. Di sisi lain, tingginya permintaan China akan minyak sawit, kayu pulp, dan bahan tambang menjadi salah satu faktor pendorong deforestasi di Indonesia.
Menurut analisis Traise Earth, kehilangan hutan yang disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit di Sumatra meningkat 3,7 kali lipat dalam periode 2020-2022, dengan konsumsi dari China sebagai pendorong utamanya. Posisi China sebagai importir utama minyak sawit Indonesia kini telah melampaui Uni Eropa dan India. Kendati demikian, laporan tersebut menyoroti bahwa implementasi standar keberlanjutan, ketertelusuran rantai pasok, dan akuntabilitas korporasi masih menjadi tantangan di lapangan.
Pola-pola ini mengungkap kegagalan tata kelola yang lebih dalam pada strategi lingkungan China. Partai Komunis China (PKC) telah mengadopsi pendekatan dua jalur: mempromosikan pembangunan hijau di dalam negeri sambil membiarkan rantai pasokan yang merusak lingkungan di luar negeri. Dualitas ini bukan hanya munafik—tetapi juga berbahaya secara struktural. Dengan mengecualikan emisi terselubung dan dampak keanekaragaman hayati dari komitmen iklimnya, China merusak integritas tata kelola lingkungan global. Hal ini menciptakan preseden bagi negara-negara lain untuk mengikutinya, yang berpotensi mengunci dunia dalam siklus janji iklim yang kosong dan titik kritis ekologis yang tidak dapat diubah.
Secara domestik, tantangan lingkungan di China juga terlihat dari kebijakan energinya. Walaupun gencar berinvestasi di sektor energi terbarukan, China tetap menjadi konsumen batu bara terbesar global, dengan komoditas ini menyusun hampir dua pertiga dari bauran energinya. Pendanaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) juga menjadi sorotan karena dianggap kontras dengan retorika iklimnya.
Paralel dengan itu, isu-isu seperti polusi udara dan air, kontaminasi tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati muncul sebagai dampak dari urbanisasi, konversi lahan, dan ekspansi industri. Isu-isu ini dapat berdampak pada kesehatan publik, ketahanan pangan, dan stabilitas ekonomi. Sebuah laporan dari Council on Foreign Relations menyebutkan bahwa krisis lingkungan akibat industrialisasi telah menjadi sumber ketidakpuasan publik dan tantangan bagi legitimasi pemerintah.
BRI sendiri, meskipun dipromosikan sebagai wahana untuk pembangunan berkelanjutan, sering kali justru memperburuk kerusakan ekologis. Banyak proyek BRI melewati daerah-daerah yang sensitif secara ekologis, mengganggu habitat dan mengancam spesies langka. Meskipun China telah berjanji untuk membuat BRI lebih hijau dengan meningkatkan investasi energi terbarukan dan mewajibkan pelaporan ESG (Environment, Social, and Governance), investasi warisan pada batu bara dan minyak masih mendominasi di wilayah dengan pengawasan regulasi yang lemah. Skema debt-for-nature swaps (pertukaran utang dengan alam) dan kemitraan publik-swasta muncul sebagai mekanisme perbaikan, tetapi transparansi dan akuntabilitas masih sulit dicapai.
Kegagalan China untuk mengintegrasikan akuntansi berbasis konsumsi ke dalam janji iklimnya adalah sebuah kelalaian yang mencolok. Sebagai pembeli komoditas berisiko hutan terbesar di dunia, China memiliki pengaruh besar untuk membentuk kembali pasar global. Namun, tanpa komitmen yang mengikat untuk mengurangi emisi terselubung, klaim kepemimpinannya terdengar hampa. Efektivitas Perjanjian Paris bergantung pada kemampuan negara-negara untuk mengatasi tidak hanya emisi teritorial tetapi juga biaya lingkungan dari konsumsi mereka. Keengganan China untuk melakukannya merusak aksi iklim kolektif dan melemahkan kredibilitas kerangka kerja internasional.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, China harus memperluas "peradaban ekologis"-nya ke luar perbatasannya. Ini berarti meningkatkan transparansi seputar impor komoditas, mengintegrasikan emisi terselubung ke dalam NDC-nya, dan memperjuangkan norma global yang lebih ketat tentang keanekaragaman hayati dan akuntabilitas rantai pasokan. Ujian kepemimpinan lingkungan saat ini bukanlah citra nasional, melainkan hasil global. Arah China saat ini, yang dibentuk oleh kontradiksi kebijakan dan kelalaian strategis, berisiko mengubah janji hijaunya menjadi liabilitas global.
(Rahman Asmardika)