JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan CEO Navayo Internasional AG, Gabor Kuti (GK), masuk daftar pencarian orang (DPO). Gabor merupakan salah satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit Navayo atau user terminal satelit slot orbit 123° BT (Bujur Timur) Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2016.
“Benar (Gabor Kuti) sudah dinyatakan DPO sejak 22 Juli 2025,” kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna, Selasa (23/9/2025).
Anang menjelaskan, Gabor Kuti ditetapkan sebagai DPO lantaran tidak memenuhi tiga kali panggilan sebagai saksi dan dua kali panggilan sebagai tersangka.
"Sudah dipanggil sebagai saksi sebanyak tiga kali tidak pernah hadir, dan sudah dipanggil sebagai tersangka dua kali, nggak pernah hadir," jelas Anang.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait kasus korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan tahun 2016. Total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp300 miliar.
“Untuk kerugian negara, bila dirupiahkan sekitar Rp300 miliar. Kalau kala itu Rp15 ribu kurang lebih 1 dolar,” kata Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Brigjen Andi Suci, Kamis (8/5/2025) dini hari.
Adapun tiga tersangka dalam kasus ini, yakni Laksamana Muda TNI (Purn) L, selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ATVDH, selaku perantara, dan GK, selaku CEO Navayo International AG. Andi menerangkan, tersangka GK merupakan warga negara asing.
“Ini (GK) warga negara Hungaria. Nanti pelaksanaan pemeriksaannya tetap dilaksanakan di sini (Indonesia), disidang di sini. Secara lanjut, tim penyidik nanti akan mengembangkan pemeriksaan itu,” jelas dia.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung saat itu, Harli Siregar, menjelaskan bahwa kasus ini bermula saat Kementerian Pertahanan melalui tersangka L menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada 1 Juli 2016 tentang perjanjian penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement for the Provision of User Terminal and Related Service and Equipment) senilai USD 34.194.300 dan kemudian berubah menjadi USD 29.900.000.
“Bahwa penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga dilakukan tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa, di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari ATVDH,” ujar dia.
Selanjutnya, Navayo International AG mengakui telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang kepada Kementerian Pertahanan RI. Kemudian, ditandatangani empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG.
“Di mana CoP tersebut telah disiapkan oleh ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu. Pihak Navayo International AG melakukan penagihan kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran) dan CoP,” ungkapnya.
Namun, sampai dengan tahun 2019, Kementerian Pertahanan RI belum memiliki anggaran untuk pengadaan satelit. Pemeriksaan atas pekerjaan Navayo International AG dilakukan oleh ahli satelit Indonesia atas permintaan penyidik koneksitas Jampidmil.
“Dengan kesimpulan: pekerjaan Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah program User Terminal, karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap 550 unit handphone tidak ditemukan secure chip yang merupakan inti dari pekerjaan user terminal. Hasil pekerjaan Navayo International AG terhadap user terminal juga tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di slot orbit 123° BT, dan barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa,” paparnya.
Kementerian Pertahanan RI diharuskan membayar USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura. Hal itu terjadi karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP).
Sementara, menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan sebesar Rp1.922.350.493.
“Untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura, dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan, serta rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris atas Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 — yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura,” jelasnya.
(Fetra Hariandja)