Kondisi politik yang semakin panas di Indonesia, terutama di Jakarta sebelum G30S, tidak lepas dari provokasi yang dilakukan PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. PKI bersama Pemuda Rakyat, BTI, Lekra, dan Gerwani, terus berupaya menggoyang stabilitas politik dengan menyerang siapa saja yang dianggap lawan.
Kekacauan politik pun melanda hampir setiap sudut. Selain aksi sepihak seperti merebut tanah dengan alasan menjalankan program landreform atau Undang-Undang Reforma Agraria, mereka juga menggelar aksi massa yang semakin memperkeruh keadaan.
Dalam buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018), disebutkan bahwa beberapa provokasi politik yang dilakukan PKI menjelang peristiwa G30S cukup mencolok. Salah satunya adalah penyerbuan oleh massa PKI terhadap kediaman Duta Besar Amerika Serikat, Howard Jones, di Jakarta.
Amerika Serikat dan sekutunya sering dianggap sebagai kekuatan nekolim (neokolonialisme imperialisme). Penyerbuan tersebut terjadi pada 28 Februari 1965, sekitar tujuh bulan sebelum G30S meletus. Tak hanya itu, pada 1 April 1965, massa PKI juga menyerbu vila milik William (Bill) Palmer di Gunung Mas.
Palmer adalah manajer Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers), yang oleh PKI dituduh sebagai agen Badan Intelijen Amerika (CIA). PKI menuduh Palmer menjalin komunikasi rahasia dengan sejumlah perwira militer Indonesia.
Akibatnya, sekitar 1.000 orang massa PKI menyerbu kantor Ampai, tempat Palmer bekerja, dan mendesak penutupan kantor tersebut. Aksi PKI ini mendapatkan dukungan dari Republik Rakyat China (RRC). Dalam siaran radio Peking (sekarang Beijing), RRC memuji langkah PKI, karena Ampai dianggap sebagai alat subversif yang memperkenalkan kebudayaan asing untuk melemahkan revolusi Indonesia.