Namun, terlepas dari klaim dan pencapaian tersebut, peluang Trump untuk memenangkan Nobel Perdamaian tahun ini dirasa sangat tipis.
Profesor Swedia Peter Wallensteen, pakar hubungan internasional, mengatakan kepada Agence France-Presse bahwa Trump tidak akan memenangkan penghargaan tersebut tahun ini, tetapi mungkin pada tahun 2026, ketika "berbagai inisiatifnya, termasuk krisis Gaza, telah mereda".
Banyak pakar menganggap klaim "pembawa perdamaian" Trump berlebihan dan menyatakan kekhawatiran atas konsekuensi kebijakan "America First"-nya.
"Selain berupaya menjadi perantara perdamaian untuk Gaza, kami telah menyaksikan kebijakan-kebijakan yang justru bertentangan dengan niat dan apa yang tertulis dalam wasiat [Alfred] Nobel, terutama untuk mendorong kerja sama internasional, persaudaraan antarbangsa, dan perlucutan senjata," kata Nina Græger, yang mengepalai Institut Penelitian Perdamaian Oslo, sebagaimana dilansir SBS News Australia.
Trump telah menarik AS dari organisasi internasional dan perjanjian multilateral, melancarkan perang dagang melawan sekutu maupun musuh, mengancam akan merebut Greenland dari Denmark secara paksa, memerintahkan Garda Nasional ke kota-kota AS, dan menyerang kebebasan akademik universitas serta kebebasan berekspresi.
"Kami mempertimbangkan gambaran yang utuh," jelas Jørgen Watne Frydnes, ketua komite beranggotakan lima orang yang menganugerahkan hadiah perdamaian tersebut.
"Keseluruhan organisasi atau kepribadian lengkap orang tersebut penting, tetapi yang pertama dan terutama kita lihat adalah apa yang sebenarnya telah mereka capai demi perdamaian," ujarnya.