JAKARTA – Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyampaikan keprihatinannya atas ambruknya bangunan asrama putri di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jailani, Situbondo, Jawa Timur.
Selly menekankan perlunya perhatian serius pemerintah melalui Satgas Penataan Pembangunan Pesantren terhadap keselamatan santri dan kualitas bangunan pesantren di Indonesia. Apalagi, insiden ini bukan kejadian pertama ambruknya bangunan di lingkungan ponpes dalam waktu berdekatan.
“Ini bukan semata-mata masalah musibah atau faktor cuaca, tetapi juga menyangkut belum optimalnya penerapan ketentuan keselamatan dalam pembangunan,” kata Selly, Jumat (31/10/2025).
Menurutnya, peristiwa yang berulang menunjukkan lemahnya pengawasan dan regulasi terkait pembangunan pesantren, baik yang bersifat formal maupun nonformal.
Ia mendorong agar seluruh bangunan pesantren, terutama yang menampung santri, harus memenuhi standar teknis konstruksi yang ketat. Selly menegaskan tidak boleh ada kompromi mengenai hal ini.
“Tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggaran keselamatan yang bisa mengancam jiwa para santri dan pengajar,” tegasnya.
Sejalan dengan itu, Selly mengungkap bahwa DPR RI mendorong Satgas Penataan dan Pengawasan Pembangunan Pesantren yang dibentuk pemerintah agar bekerja secara optimal. Khususnya, setiap pembangunan dan renovasi asrama santri harus diawasi secara profesional oleh lembaga lintas kementerian, terutama Kementerian Pekerjaan Umum (PUPR), Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri.
“Satgas ini penting untuk memastikan tidak ada lagi bangunan pesantren yang berdiri tanpa perhitungan keselamatan yang matang,” ungkap Selly.
Ia menambahkan, pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam mengawasi seluruh pesantren, terutama yang memiliki asrama.
Selly berharap Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren) Kementerian Agama, yang baru saja dibentuk sebagai hasil restrukturisasi kelembagaan, dapat mengambil peran aktif dan strategis dalam pengawasan menyeluruh terhadap pembangunan fisik pesantren.
“Ditjen Pesantren tidak hanya bertanggung jawab dalam aspek pendidikan dan kelembagaan, tetapi juga harus memiliki fungsi koordinatif dan supervisi terhadap kelayakan sarana dan prasarana pesantren. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama bersama pemerintah daerah, asosiasi pesantren, dan lembaga teknis seperti Balai Jasa Konstruksi PUPR,” papar Selly.
Selain itu, Selly menilai Ditjen Pesantren perlu menyusun standar keselamatan dan sertifikasi bangunan pesantren secara nasional sebagai pedoman bagi seluruh pesantren, baik yang dikelola oleh yayasan maupun masyarakat.
Menurutnya, standar tersebut harus mencakup aspek perencanaan, konstruksi, hingga pemeliharaan gedung asrama santri.
Ia juga mendorong keterlibatan lembaga-lembaga teknis seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk menyiapkan tenaga ahli dan pengawas bangunan pesantren yang kompeten.
Di tingkat daerah, kata Selly, Dinas Perizinan dan Dinas PUPR kabupaten/kota juga perlu meningkatkan mekanisme inspeksi bangunan serta memperkuat sinergi dengan Kementerian Agama melalui Kantor Wilayah dan Kementerian Dalam Negeri dalam hal pengawasan izin mendirikan bangunan (IMB) pesantren.
“Koordinasi lintas sektor ini sangat penting agar tidak ada lagi pesantren yang berdiri tanpa pengawasan teknis yang memadai,” jelas Selly.
“Ditjen Pesantren harus menjadi leading sector yang memastikan seluruh pesantren memiliki infrastruktur yang aman, layak, dan sesuai dengan standar keselamatan nasional,” lanjut mantan Wakil Bupati Cirebon tersebut.
Selly juga meminta agar pemerintah daerah lebih aktif melakukan inspeksi bangunan pesantren, serta memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran izin mendirikan bangunan maupun standar teknis konstruksi.
“Tragedi seperti ini tidak boleh terus terulang, sebab menyangkut nyawa generasi penerus bangsa,” pungkasnya.
Sebagai informasi, bangunan Asrama Putri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jailani di Jalan Pesanggrahan, Desa Blimbing, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, ambruk pada Rabu (29/10) dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.
Polres Situbondo mencatat, secara total terdapat 12 santriwati yang menjadi korban dari peristiwa tersebut, termasuk satu orang meninggal dunia.
Insiden ini menambah daftar panjang tragedi serupa, termasuk robohnya gedung tiga lantai berasrama di Musala Al Khoziny, Sidoarjo, pada September lalu yang juga menelan puluhan korban jiwa.
(Awaludin)