JAKARTA- Ketiadaan regulasi yang mengatur media baru mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satunya dari Anggota Komisi I DPR RI, Nico Siahaan.
Nico mengatakan, kondisi ini menimbulkan ketidakadilan perlakuan terhadap media eksisting dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
“Ada ketidakadilan karena yang satu diatur ketat (TV dan radio) dan yang satunya tidak,” tegasnya di sela-sela Diskusi Publik bertemakan "Platform Digital dan Penyiaran: Peluang atau Ancaman" yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia (UI), Depok, dikutip Sabtu (8/11/2025).
Menurutnya, ketiadaan aturan ini membuat aset finansial yang semestinya diperoleh negara justru lari ke luar negeri. Negara tidak mendapatkan apapun dari bisnis yang dilakukan. Sedangkan, keberadaan TV dan radio berkontribusi penuh terhadap pemasukan negara.
“Ada capital outflow yang ke luar negeri dan ini tidak beredar di dalam negeri,” kata Nico Siahaan.
Namun yang paling dikhawatirkan dari tidaknya ada regulasi bagi media baru ini karena kontennya belum dapat dijamin alias melindungi.
Karena tidak semua konten dari media baru sesuai etika, tidak hoaks dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
“Jadi media yang menyajikan audio maupun audio visual juga harus diatur. Ini supaya menghasilkan konten yang berimbang dan juga bertanggung jawab,” tegasnya.
Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, ikut mengkhawatirkan dampak negatif dari konten media baru. Karenanya, diperlukan antisipasi agar dampak negatif tersebut tidak muncul.
“Kalau kita bicara peluang atau ancaman. Maka peluangnya pasti ada dan besar. Tidak usah pusing kita. Tapi ancamannya ini yang harus kita atasi. Makanya kita butuh pengaturannya untuk memberikan perlindungan dari bahaya konten-konten negatif,” tegas Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini.
Pandangan yang sama disampaikan Ketua KPI Pusat, Ubaidillah dan Komisioner KPI Pusat, Aliyah. Menurut keduanya, kehadiran regulasi ini untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat khususnya generasi muda Indonesia.
“Sayangnya KPI tidak bisa mengawasi dan menindak tayangan atau konten di platform digital,” tutur Aliyah.
Sementara itu, Sekjen ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) Gilang Iskandar mengusulkan, jika pengaturan terhadap platform digital dan penyiaran sulit maka diperlukan relaksasi dalam regulasi penyiaran. Relaksasi ini meliputi sejumlah hal, misalnya menyangkut aturan konten lokal dan iklan rokok.
“Selain itu, perlu ada proteksi atau perlindungan hukum atas konten-konten televisi yang dimonetisasi. Harus juga ada government spending,” ujar Gilang.
Menutup diskusi, BEM FISIP UI Albani, meminta rekannya agar melakukan pemeriksaan dan verifikasi atas konten media baru. Selain itu, ia juga berharap adanya lembaga yang mengatur dan melakukan pengawas terhadap media baru.
(Fahmi Firdaus )