JAKARTA —Pemerintah menegaskan pentingnya transformasi tata kelola pesantren sebagai agenda strategis nasional. Pasalnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara.
“Pesantren sudah ada sejak abad ke-14, jauh sebelum Belanda datang dengan sistem sekolah modern,” ujar Direktur Pesantren, Basnang Said, dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren, dikutip, Kamis (27/11/2025).
Ia mengingatkan bahwa perjalanan panjang pesantren juga mencatat masa ketika lembaga ini terpinggirkan oleh modernisasi kolonial.
Momentum kebangkitan kembali diperkuat melalui Program PBSB era Menteri Agama M. Maftuh Basyuni yang mendorong santri tampil sebagai lulusan terbaik di berbagai perguruan tinggi ternama.
Basnang menyoroti evolusi pengakuan negara terhadap pesantren, mulai dari program kesetaraan pada masa Presiden Gus Dur, penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo, hingga lahirnya UU No. 18/2019 tentang Pesantren.
“Undang-undang itu menguatkan martabat pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,” tegasnya.
Dia juga menyoroti tantangan baru yang muncul, terutama hilangnya kajian kitab-kitab klasik seperti balaghah, mantik, dan arudh pada beberapa pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan formal. Kemenag, katanya, telah menyiapkan langkah sistematis untuk mengembalikan kekuatan tradisi keilmuan pesantren.
“Pesantren harus tetap kokoh pada tradisi, tetapi tidak boleh berjalan mundur dari zaman. Inilah saatnya pesantren menjadi pusat lahirnya pemimpin bangsa yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing,”pungkasnya.
Pimpinan PPTQ Halaqah Hafizhah Hamzah Harun Ar-Rasyid, menambahkan, bahwa pendidikan pesantren berakar pada pembentukan karakter yang berkesadaran spiritual.
“Santri harus merasa selalu dalam pengawasan Allah. Jika itu tertanam, maka seorang santri tidak akan mungkin berkhianat, meskipun nanti ia menjadi rektor atau menteri,” ujarnya.
Ketua Tanfidziyah PWNU Sulawesi Selatan ini menguraikan enam pilar pendidikan menurut Imam Syafi’I kecerdasan, semangat, kesungguhan, kecukupan ekonomi, kedekatan dengan guru, dan ketekunan waktu, namun menegaskan bahwa kebutuhan zaman menuntut lebih.
“Pesantren harus masuk ke dunia digital, memperkuat ekonomi, dan membangun jejaring global,” tandasnya.
(Fahmi Firdaus )