JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Hadjar Fickar, menegaskan bahwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook, fokus hukum pidana bukan semata ada atau tidaknya aliran uang ke rekening pribadi Nadiem Makarim, melainkan apakah perbuatan yang dilakukan menimbulkan kerugian keuangan negara.
Abdul menjelaskan, dalam konteks mens rea atau unsur kesalahan, hukum pidana mengenal dua bentuk sikap batin, yakni kesengajaan dan kelalaian.
"Mens rea itu ada dua. Pertama, sengaja melakukan tindak pidana. Kedua, lalai. Kalau seseorang tidak sengaja dan juga tidak lalai, barulah dia harus dibebaskan," kata Abdul, Rabu (17/12/2025).
Menurut dia, kelalaian dalam jabatan tetap dapat masuk ranah pidana, terutama jika pejabat yang bersangkutan gagal melakukan pengawasan terhadap bawahannya sehingga kebijakan atau keputusan yang diambil berujung pada kerugian keuangan negara.
“Karena lalai mengawasi bawahan, bisa saja lahir keputusan yang merugikan negara. Itu sudah cukup untuk memenuhi unsur pidana,” ujarnya.
Abdul menekankan, perbedaan antara perbuatan yang disengaja dan kelalaian terletak pada berat atau ringannya hukuman, bukan pada ada atau tidaknya kesalahan pidana.
“Hakim biasanya akan menjatuhkan hukuman lebih ringan kepada pelaku yang lalai dibandingkan yang dengan sengaja merugikan negara. Jadi debatnya bukan soal bersalah atau tidak, tetapi soal seberapa berat hukumannya,” jelasnya.
Pernyataan ini relevan dengan perkembangan terbaru perkara Nadiem Makarim, di mana dalam dakwaan jaksa disebutkan nilai pengadaan laptop Chromebook mencapai sekitar Rp809 miliar dan dinilai berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Meski demikian, Abdul menegaskan bahwa angka tersebut masih merupakan bagian dari dakwaan yang wajib dibuktikan di persidangan, termasuk apakah terdapat perbuatan melawan hukum serta siapa pihak yang bertanggung jawab secara pidana.
Ia menambahkan, terdakwa dapat dibebaskan apabila mampu membuktikan tidak adanya unsur kesalahan atau tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum.
“Misalnya tanda tangan dilakukan dalam kondisi ditutup-tutupi oleh staf, atau dalam keadaan sakit atau lemah lalu dipaksa menandatangani. Semua itu harus diuji di persidangan,” katanya.
Abdul juga mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak pada narasi politisasi atau kriminalisasi. Menurutnya, sebagai negara hukum, setiap proses penegakan hukum harus dihormati.
“Kalau sudah menjadi aturan hukum yang dibuat DPR dan pemerintah, maka harus dipatuhi bersama, termasuk penindakan hukum terhadap siapa pun,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini meminta publik menyerahkan sepenuhnya kasus Nadiem Makarim kepada proses hukum. Jika dalam persidangan jaksa tidak mampu membuktikan dakwaannya, maka pengadilan akan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
“Menurut saya tidak ada politisasi atau kriminalisasi. Biarkan saja proses hukum berjalan dan dinilai secara objektif,” pungkasnya.
(Awaludin)