JAKARTA – Kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) sejak awal dianggap penuh rekayasa yang melibatkan berbagai kepentingan bisnis dan politis, yang tak ada kaitannya dengan penegakan hukum. Namun beberapa oknum di Kejagung justru memaksakan kasus ini agar dipidanakan.
Hal itu ditegaskan Kuasa Hukum Romli Atmasasmita, Juniver Girsang, melalui pesan elektronik, Senin (23/5/2011). Penyataan ini sekaligus menanggapi berbagai aktivis LSM yang mendesak Kejagung mengajukan PK atas putusan kasasi Romli Atmasasmita. Juniver justru memita Kejagung untuk melakukan introspeksi diri atas kasus tersebut.
Seperti diberitakan, Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) agar segera mengajukan PK dalam kasus korupsi Sisminbakum yang melibatkan Romli Atmasasmita. Desakan tersebut agar Kejagung bersikap adil dalam menyelesaikan sebuah perkara.
IPW menilai ada empat alasan kenapa Kejagung harus mengajukan PK dalam kasus Romli. Pertama, alasan Keadilan. Kedua, alasan Konsistensi. Ketiga, alasan Profesionalitas. Keempat, alasan agar Kejagung tidak dinilai diskriminatif.
Juniver mengatakan, sejak awal, kasus Sisminbakum penuh rekayasa yang melibatkan berbagai kepentingan bisnis dan poltis, yang tak ada kaitannya dengan penegakan hukum. Namun beberapa oknum di Kejagung memaksakan kasus ini agar dipidanakan.
Romli, kata dia, akhirnya dilepaskan dari segala dakwaan, karena Sisminbakum tidak terbukti merugikan keuangan negara dan tidak terbukti sebagai perbuatan melawan hukum. MA juga menegaskan bahwa Sisminbakum tidak merugikan masyarakat, bahkan mampu meningkatkan pelayanan publik dalam mengesahkan berdirinya perseroan.
Bahkan, dalam pertimbangan hukumnya, MA tegas menyebutkan bahwa bukti yang dijadikan dasar PN Jaksel dan PT jakarta menghukum Romli adalah tidak sah alias bukti palsu. “Ini jelas menunjukkan bahwa Kejagung tidak bekerja secara profesional,” tegas Juniver.
Dia juga berpendapat, medakwa orang dengan bukti palsu adalah kejahatan yang melanggar asas keadilan dan merupakan kejahatan jabatan yang harus ditindak. Karena itu, Juniver minta Kejagung untuk melakukan introspeksi diri dan melakukan pembersihan ke dalam untuk menindak semua jaksa yang diduga terlibat merekayasa kasus ini sejak awal.
Romli juga sudah melaporkan kasus pemalsuan bukti yang diduga dilakukan aparat ke Kejagung di Gedung Bunder itu, dan tersangkanya sudah ditetapkan. Polisi harusnya serius menangani laporan Romli untuk mengungkap dugaan keterlibatan aparat Kejaksaan dalam kejahatan ini, namun polisi bertindak lamban.
“Indonesian Police Watch harusnya mendesak polisi untuk segera mengusut dugaan kejahatan ini, sesuai dengan nama IPW itu sendiri. Anehnya, IPW begitu getol mendesak-desak Kejagung agar PK putusan Romli. Apa urusannya IPW dengan Kejaksaan, LSM mereka itu harusnya mengawasi polisi. Polisi lamban mengusut pemalsuan bukti perkara Sisminbakum, itulah yang harus dikritik IPW, bukannya mendesak-desak Kejagung yang berada diluar domain kegiatan IPW,” imbuhnya.
Desakan IPW agar Kejagung mengajukan PK atas kasasi Romli justru akan menggiring Kejagung ke jurang yang lebih dalam. Baik KUHAP maupun para pakar hukum pidana tegas menyatakan bahwa PK adalah hak terhukum dan ahli warisnya. Tidak ada hak Kejaksaan mengajukan PK.
MA sendiri sudah menyadari kesalahannya ketika mengabulkan PK perkara Muchtar Pakpahan, Polycarpus dan Djoko Chandra. “Dalam kasus Romli, Kejagung gagal mempertahankan argumentasi dakwaannya sehingga MA menolak kasasi Kejagung,” kata Juniver.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksana mengatakan, PK hanya dapat diajukan oleh terdakwa atau pengacaranya karena menurut KUHAP hanya mereka yang bisa menjadi pemohon PK. Mengingat KUHAP adalah hukum acara yang mengatur suatu tata cara beracara di pengadilan. “Maka hal-hal yang tidak diatur di KUHAP bukanlah tata cara yang diperkenankan oleh hukum,” kata Gandjar saat dihubungi, kemarin.
(Dadan Muhammad Ramdan)