JAKARTA - Ketua DPR Marzuki Alie akan diadukan ke Badan Kehormatan (BK) DPR siang ini. Serikat Pengacara Rakyat (SPR) melaporkan Marzuki atas pernyataanya mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan wacana pemberian maaf bagi koruptor.
Juru Bicara SPR, Habiburokhman mengatakan Marzuki diadukan karena diduga melanggar Pasal 3 ayat (5) Kode Etik Anggota DPR yang menyebut anggotadewan tidak diperkenankan mengeluarkan kata-kata serta tindakan yang tidak patut menurut pandangan etika dan norma yang berlaku di masyarakat.
"Tindak pidana korupsi jelas merupakan tindakan yang melanggar norma-norma dasar di masyarakat, dengan demikian mengusulkan tindakan pembubaran KPK dan pemberian maaf kepada koruptor menurut kami juga merupakan pelanggaran norma dan etika yang ada di dalam masyarakat," kata Habiburokhman dalam keterangan pers tertulis yang diterima okezone, Minggu (31/7/2011) malam.
Menurutnya, wacana Marzuki diduga dilakukan secara sadar sebagai bentuk provokasi untuk menggoyang eksistensi KPK. "Mungkin dia berharap ucapannya akan mendapat dukungan luas hingga akhirnya KPK bisa benar-benar dibubarkan," sambungnya.
Kendati begitu, SPR juga mendesak komite etik mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Deputi Penindakan KPK Ade Raharja. "Pihak yang bersalah haruslah dijatuhi sanksi yang berat atau bila perlu diproses secara hukum pidana," tegasnya.
Tetapi, isu pelanggaran kode etik tersebut, lanjut Habiburokhman tidak dapat dijadikan alasan untuk membubarkan KPK. Alasannya, kesalahan individu tidak bisa ditujukan ke insitusi.
"Usulan untuk membubarkan KPK, apapun alasannya menurut kami merupakan usulan yang sangat berbahaya bagi perjuangan pemberantasan korupsi di negeri ini," katanya
BK Harus Proaktif
SPR mendesak BK menindaklanjuti aduannya terhadap Ketua DPR Marzuki Alie. Bagi SPR, belum dicabutnya pernyataan mengenai pembubaran KPK dan pemberian maaf bagi koruptor menjadi bukti Marzuki mengingkan wacana itu terwujud.
Kasus ini, kata Habiburokhman harus dijadikan momentum bagi BK DPR untuk dapat menunjukkan fungsinya secara optimal. "Jangan sampai timbul kesan ada pihak yang kebal terhadap kode etik. Siapapun orangnya, termasuk Ketua DPR, jika dianggap melanggar kode etik tetap harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku," tegasnya.
Bila tidak diproses, maka BK DPR akan dianggap publik mandul. "Maka jangan disalahkan jika BK hanya akan dianggap sebagai lembaga stempel," katanya.
(Ferdinan)