“HANYA ada tiga polisi yang tak bisa disuap. Patung polisi, polisin tidur dan Hoegeng”. Ungkapan itu begitu melekat pada sosok Hoegeng Imam Santoso.
Hingga saat ini, mendiang Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso masih jadi panutan buat tiap-tiap insan dari Korps Bhayangkara. Segala kejujuran dan keteladanannya diagungkan setinggi langit, terutama ketika menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) kelima pada periode 1968-1971.
Seperti halnya RAJ Soedjasmin, pendiri Korps Musik Polri, Hoegeng muda juga mengenyam pendidikan polisi di Sekolah Tinggi Polisi Negara (SPN) Mertoyudan yang berdiri di Magelang, Jawa Tengah pada 17 Juni 1946.
Sedianya, Hoegeng pertama kali mendapatkan pendidikan militer kepolisian sejak era pendudukan Jepang. Hoegeng yang lahir pada 14 Oktober 1921 itu ikut pelatihan Koto Keisatsu Ka I-Kai dan sempat menjabat Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang, tak lama selepas lulus.
Penyuka musik dan figur yang pandai memainkan ukulele ini sempat jadi Komandan Polisi Tentara Laut, hingga akhirnya masuk Jawatan Kepolisian Negara (kini Polri). Meski begitu, Hoegeng lebih dulu “makan bangku kuliah” di SPN Mertoyudan, tak lama setelah menikahi Merry Roeslani dengan pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda).
Sebagaimana rekan-rekannya yang lain di SPN Mertoyudan, aktivitas pendidikan Hoegeng di SPN harus terusik dengan pecahnya Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Segenap siswa diharuskan melapor ke kepolisian setempat lewat perintah Kapolri Raden Said Soekanto.
Dari perintah itu pula, Hoegeng akhirnya bergabung ke Kepolisian Sektor Pekalongan, lantaran pada saat itu sedianya Hoegeng tengah menjalani libur kuliah dari SPN di Pekalongan. Kebetulan sebelum pecahnya Agresi Militer I Belanda, Hoegeng bersama istri dan keluarga mengadakan hajatan tujuh bulanan kandungan istrinya, Merry.
Seperti dikutip dari buku ‘Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa’, Hoegeng sempat diciduk Polisi NICA (Nederlands-Indië Civil Administratie) di Pekalongan. Tapi Hoegeng tak mendapat siksaan atau apapun, justru diperlakukan istimewa.
Ternyata perlakuan istimewa itu tak lepas dari campur tangan seorang perwira Polisi NICA, De Bretonniere, teman sekolah Hoegeng semasa di Rechtskundige Hooge School (RHS).
Saat bertemu, Bretonniere berusaha membujuk Hoegeng untuk menyeberang ke pihak Belanda. “ Saya putra Indonesia, mustahil bagi saya bersikap lain!,” jawab Hoegeng degan lugas.
Alhasil Hoegeng tetap ditahan dan baru dilepas tiga pekan kemudian, ketika perjanjian gencatan senjata terjadi. Hoegeng kemudian sedianya ingin kembali ke Yogyakarta, lantaran SPN dipindah ke sana. Tapi perjalannya harus lebih dulu “memutar” ke Jakarta dengan kereta api.
Di Jakarta itulah Hoegeng bertemu pembimbingnya, Soemarto Soekardjo yang kala itu sudah menjabat Wakapolri. Hoegeng diminta membantunya, kendati Hoegeng harus izin lebih dulu Kapolri R.S. Soekanto, lantaran statusnya yang masih siswa SPN.
Tapi izin akhirnya diberikan dan Hoegeng segera ditugaskan mengawasi kondisi para pejuang yang jadi tahanan Belanda. Sekaligus sebagai Liaison Officer (perwira penghubung).
Dari tugasnya sebagai perwira penghubung itulah, Hoegeng bisa bertemu sejumlah petinggi militer, sebagai “jembatan” antara Kepolisian dengan tentara, di antaranya Panglima Besar Jenderal Soedirman, Letjen Oerip Soemohardjo, KSAU Komodor Soerjadi Soerjadarma, serta KSAL Komodor M. Nazir.
Hoegeng juga punya sedikit andil bersama elemen kepolisian saat meletus “Madiun Affair” (Pemberontakan PKI Madiun 1948), serta ketika Agresi Militer Belanda II dilancarkan pada 19 Desember 1948 dengan sasaran Yogyakarta sebagai Ibu Kota RI kala itu.
Pada saat agresi besar itu, kebetulan Hoegeng tengah berada di Yogyakarta, lantaran ibu mertuanya wafat. Ketika agresi dilancarkan Belanda dan sejumlah elemen militer menyingkir dari pusat kota, Hoegeng tetap di Yogyakarta.
Oleh pimpinan Polri, Hoegeng dipercayakan tugas mengumpulkan data informasi dan intelijen yang diperlukan TNI, di bawah koordinasi Soekarno Djojonegoro.
Dalam menjalankan tugasnya, Hoegeng kerap menyamar sebagai pelayan di sebuah restoran yang tak jauh dari rumahnya di jalan Jetis. Pengalamannya menyamar jadi pelayan ini, ternyata masih membekas dan dilakukan ketika sudah menjabat Kapolri, dalam rangka sidak ke berbagai tempat.
Selesai revolusi, karier Hoegeng kian melesat. Masa jabatannya sebagai Kapolri kelima selalu jadi teladan buat segenap perwira polisi, kendati catatan hidupnya diselingi keterlibatan kontroversi Petisi 50, petisi yang berisikan protes penggunaan Pancasila terhadap lawan-lawan politik oleh Presiden Soeharto.
Akibatnya setelah pensiun sebagai Kapolri, Hoegeng masuk dimasukkan daftar hitam sebagai figur yang berlawanan terhadap Soeharto. Hoegeng bahkan dilarang hadir dalam HUT Polri yang diperingati setiap 1 Juli.
Hoegeng akhirnya tinggal nama pada 14 Juli 2004. Hoegeng tutup usia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, setelah terserang penyakit stroke dan jantung. Sesuai wasiatnya, Hoegeng yang tak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, akhirnya dikebumikan di Pemakaman Umum Giri Tama, Bogor.
(Randy Wirayudha)