Sebagaimana rekan-rekannya yang lain di SPN Mertoyudan, aktivitas pendidikan Hoegeng di SPN harus terusik dengan pecahnya Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Segenap siswa diharuskan melapor ke kepolisian setempat lewat perintah Kapolri Raden Said Soekanto.
Dari perintah itu pula, Hoegeng akhirnya bergabung ke Kepolisian Sektor Pekalongan, lantaran pada saat itu sedianya Hoegeng tengah menjalani libur kuliah dari SPN di Pekalongan. Kebetulan sebelum pecahnya Agresi Militer I Belanda, Hoegeng bersama istri dan keluarga mengadakan hajatan tujuh bulanan kandungan istrinya, Merry.
Seperti dikutip dari buku ‘Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa’, Hoegeng sempat diciduk Polisi NICA (Nederlands-Indië Civil Administratie) di Pekalongan. Tapi Hoegeng tak mendapat siksaan atau apapun, justru diperlakukan istimewa.
Ternyata perlakuan istimewa itu tak lepas dari campur tangan seorang perwira Polisi NICA, De Bretonniere, teman sekolah Hoegeng semasa di Rechtskundige Hooge School (RHS).
Saat bertemu, Bretonniere berusaha membujuk Hoegeng untuk menyeberang ke pihak Belanda. “ Saya putra Indonesia, mustahil bagi saya bersikap lain!,” jawab Hoegeng degan lugas.
Alhasil Hoegeng tetap ditahan dan baru dilepas tiga pekan kemudian, ketika perjanjian gencatan senjata terjadi. Hoegeng kemudian sedianya ingin kembali ke Yogyakarta, lantaran SPN dipindah ke sana. Tapi perjalannya harus lebih dulu “memutar” ke Jakarta dengan kereta api.