JAKARTA - Profesor Ilmu Politik dari Universitas Northwestern, Jeffrey Alan Winters menilai, debat politik di Indonesia lebih menarik untuk disaksikan daripada debat presiden di Amerika Serikat. Pasalnya, debat politik di Indonesia memberikan kesempatan yang tinggi kepada capres dan cawapres untuk berinteraksi, saling melontarkan pertanyaan mematikan. Sedangkan di AS, peraturannya justru melarang kandidat untuk saling memberi pertanyaan yang menjatuhkan lawan.
Pria kelahiran Illinois itu mencontohkan, ketika dia menonton debat kandidat antara Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta pada 2014, dirinya tak percaya JK berani mempertanyakan kasus Pelanggaran HAM Berat yang melibatkan Prabowo di masa lalu.
"Saya tidak percaya ketika mendengarnya. Betulkah dia boleh mempertanyakan hal seperti itu? Isu itu kan sensitif sekali di Indonesia. Saya menonton debat politik Indonesia lebih seru daripada di AS yang terlalu banyak aturannya, tertata sekali kalau kami," ujarnya saat membawakan materi pemahaman Pilpres AS 2016 di Pusat Kebudayaan @america, Pacific Place, Jakarta pada Selasa 6 September.
Hal lain yang membuatnya kagum kepada proses demokrasi di Indonesia adalah tata cara penentuan komisi pemilihan umum (KPU). Komisionernya dipilih secara independen, bukan dari orang partai dan dicari yang seram-seram. Demikian juga dengan moderator debatnya, ditunjuk orang cerdas yang bisa menanyakan secara tajam dan menengahi perdebatan.
"Kalau di Amerika (Serikat), ada electoral college dan KPU yang semuanya adalah orang-orang yang ditunjuk berdasarkan persetujuan partai. Moderatornya dipilih bukan yang bisa kasih pertanyaan tajam, tetapi justru karena mereka tidak menyeramkan sama sekali," cetusnya, Rabu (7/9/2016).
"Bahkan pernah para moderator debat kandidat ini ditanya, 'jika mereka tahu jawaban yang diberikan adalah bohong, apa yang akan mereka lakukan?' Mereka bilang, 'ya, dibiarkan saja. Itu nanti jadi urusan publik untuk memutuskan percaya atau tidak. Tugas kami ya hanya tanya tidak menghakimi'," tambah Jeffrey.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pengamat yang banyak melakukan penelitian soal oligarki ini menyebut, substansi debat di negaranya lebih rendah daripada Indonesia. Namun Ketua PBSI Gita Wirjawan berpendapat sebaliknya.
"Jeffrey ini sangat suka sama orang Indonesia, jadi dia sering memuji kita saja. Padahal saya lihat debat kandidat di AS juga bagus. Walau memang tidak ada saling lempar pertanyaan antar kandidat, tetapi pertanyaan yang diberikan moderator sudah berbobot," imbuhnya pada kesempatan yang sama.
Berbeda dengan di Indonesia yang bisa menghadirkan capres dan cawapres sekaligus dalam satu panggung untuk beradu argumen, visi-misi dan sebagainya. Di AS, hanya ada tiga debat kandidat. Dua untuk capres dan satu untuk cawapres. Debat kandidat tahun ini akan dimulai pada 26 September.
(Wikanto Arungbudoyo)