BANJUL – Utusan PBB memperingatkan Presiden Gambia Yahya Jammeh bahwa dia bisa dijatuhi sanksi keras oleh badan dunia itu jika ngotot berkuasa setelah kalah dalam pemilihan umum (pemilu) yang digelar awal bulan ini. Jammeh yang telah berkuasa selama 22 tahun sempat mengakui kekalahannya atas lawannya Adama Barrow sebelum kemudian berubah pikiran.
Kekisruhan pemilu Gambia dimulai saat Jammeh mempertanyakan validitas hasil pemilu setelah adanya perubahan dalam hasil penghitungan suara yang dilakukan komisi pemilihan. Meskipun perubahan itu ditegaskan tidak mempengaruhi hasil pemilu, Jammeh tidak mengakui kemenangan Barrow.
Keadaan ini semakin parah setelah militer Gambia mengambil alih kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), memblokir akses ke kantor, dan menurunkan ketua komisi. Tindakan tersebut dilakukan di tengah kunjungan delegasi pemimpin negara-negara Afrika untuk membujuk Presiden Yahya Jammeh agar menerima kekalahannya.
“Untuk Jammeh, akhir kekuasaannya sudah tiba dan tidak ada keadaan di mana dia bisa tetap menjadi presiden,” kata Utusan PBB Untuk Wilayah Afrika Barat Mohammed Ibn Chambas sebagaimana dilansir BBC, Kamis (15/12/2016). Chambas juga mendesak tentara Gambia untuk segera meninggalkan kantor KPU yang diduduki dan menyebut tindakan itu sebagai penghinaan bagi kehendak rakyat Gambia.
Meski begitu, pria yang juga menjabat sebagai Eksekutif Masyarakat Ekonomi Afrika Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) itu mengatakan, intervensi militer untuk memaksa Jammeh mundur adalah sesuatu yang tidak diperlukan. Pernyataan ini disampaikan setelah pejabat senior ECOWAS mengatakan tindakan militer mungkin dilakukan jika upaya diplomasi gagal.
(Rahman Asmardika)