CIBIRAN, hinaan, dan pandangan sebelah mata mengiringi langkah Donald John Trump ketika mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) lewat Partai Republik sejak penghujung 2015. Bahkan, pencalonannya dianggap tidak serius dan dijadikan sebagai bahan lelucon di internet.
Berbanding terbalik dengan rivalnya asal Partai Demokrat Hillary Dianne Rodham Clinton. Mantan ibu negara AS itu mendapat dukungan luas untuk menggolkan ambisi pejuang feminisme, yakni memiliki perempuan presiden pertama sepanjang sejarah. Satu-satunya penghalang bagi Hillary adalah kolega sekaligus rivalnya Bernard Sanders yang didukung oleh kaum muda progresif.
Kembali ke Partai Republik. Donald Trump harus bersaing dengan sejumlah nama yang digadang-gadang lebih pantas sebagai calon presiden (capres) yakni Marco Rubio, Ted Cruz, Ben Carson, Jeb Bush, dan John Kasich. Latar belakang kelimanya sebagai pelayan publik dianggap lebih bernilai daripada Trump yang sama sekali tidak memiliki pengalaman di pemerintahan.
Serangkaian pemilihan pendahuluan (primary) dan kaukus menjadi pertarungan ketat dari kandidat Partai Republik dan Partai Demokrat. Seluruh 50 negara bagian Negeri Paman Sam memberikan suara mereka lewat delegasi masing-masing partai dalam kaukus dan primary. Pemenang kaukus dan primary pastinya akan memiliki daya tawar yang kuat dalam konvensi masing-masing partai.
Drama Donald Trump
Republiken –kader dan simpatisan Partai Republik- nyatanya memilih Donald Trump. Pria asal New York itu meraih 1.352 suara delegasi dan 95 suara unpledged delegasi. Raihan tersebut melampaui batas aman Republik, yakni 1.237 suara. Sementara Hillary Clinton meraih 2.220 suara dari delegasi Partai Demokrat. Raihan tersebut di bawah batas aman yakni sebesar 2.383 suara. Namun, mantan menteri luar negeri AS itu selamat karena mayoritas delegasi super Demokrat memberikan dukungan kepadanya, yakni 591 suara sehingga melewati ambang batas tersebut.
Kemenangan Donald Trump membuat Konvensi Nasional Partai Republik di Cleveland, Ohio pada Juli 2016 penuh drama. Sejumlah kandidat yang bertarung dengan Trump memilih untuk menarik diri. Semua drama tersebut tidak menghalangi jalan Donald Trump untuk maju sebagai capres AS dari Republik. Sementara Konvensi Nasional Partai Demokrat membulatkan suara dukungan kepada Hillary Clinton. Hal tersebut didukung oleh kedewasaan Bernard Sanders menerima kekalahan dan menyatakan dukungannya secara terbuka kepada Hillary.
Pertarungan sesungguhnya dimulai. Pada perkembangannya, Donald Trump memilih Mike Pence sebagai pasangan, sementara Hillary Clinton memilih Tim Kaine. Kampanye brutal dan cenderung memecah belah bangsa terjadi. Donald Trump diterjang isu komentar bernada seksis terhadap kaum perempuan dan keengganan membuka surat tagihan pajak. Sementara Hillary Clinton diserang dengan isu mengenai penyalahgunaan surat elektronik (surel) pribadi saat menjabat sebagai menlu.
Komentar kontroversial Donald Trump sekira satu dekade lalu membuat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS yang juga politikus Partai Republik, Paul Ryan, menarik dukungannya. Mundurnya Ryan diprediksi menjadi pukulan telak bagi perolehan suara Donald Trump. Terlebih lagi, dalam tiga putaran Debat Capres AS 2016, pria berusia 70 tahun itu dinilai oleh media “dimakan” habis oleh Hillary Clinton.
Serangan Kampanye Negatif
Perempuan berusia 69 tahun itu dinilai lebih prima, mumpuni, dan menyampaikan visi-misinya dengan lebih jelas dalam tiga kali putaran dibandingkan Donald Trump. Pria berambut emas itu justru memilih strategi menyerang ranah pribadi Hillary Clinton daripada menjabarkan visi-misi sebagai penguasa Gedung Putih –Istana Kepresidenan AS. Ia juga sibuk menuduh media mainstream memusuhinya karena lebih mendukung istri Bill Clinton tersebut.
Akan tetapi, Debat Capres AS 2016 bukannya tanpa visi-misi dari masing-masing kandidat. Donald Trump mengusung pemotongan pajak bagi perusahaan AS untuk meningkatkan perekonomian, mengembalikan perusahaan-perusahaan AS di luar negeri, menghapus paket kebijakan kesehatan Obamacare yang dinilai memberatkan warga, dan menyusun ulang anggaran militer. Sementara Hillary memilih untuk memajukan kalangan menengah AS dan melanjutkan program-program dari Presiden Barack Obama.
Debat Capres AS 2016 putaran pertama dan kedua berlangsung dengan cukup seru. Akan tetapi, mulai debat putaran ketiga, kampanye-kampanye negatif mulai dilancarkan masing-masing kandidat. Hillary Clinton mulai mendekati para perempuan yang disinyalir sebagai korban pelecehan seksual Donald Trump. Sang rival juga terus mendorong FBI untuk kembali menyelidiki dugaan penyalahgunaan server pribadi Hillary. Gayung bersambut. Direktur FBI James Comey melanjutkan penyelidikan terhadap skandal surel (e-mail) hanya beberapa pekan jelang Pilpres AS 8 November 2016.
Pembukaan kembali penyelidikan terbukti lebih sukses menggerus suara Hillary Clinton daripada skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh Donald Trump. Kendati demikian, hingga satu hari jelang Pilpres AS 2016, sejumlah lembaga survei masih menjagokan mantan senator New York itu sebagai presiden walau dengan selisih keunggulan yang tipis atas Donald Trump.
Kemenangan Sistem
Segala prediksi mentah di hari pemilihan, 8 November 2016. Hillary Clinton boleh-boleh saja unggul dari Donald Trump dalam popular votes. Akan tetapi, Hillary kalah dalam sistem electoral votes dari Trump. Electoral votes ditentukan oleh lembaga bernama Electoral College. Setiap negara bagian mengirimkan delegasi ke lembaga tersebut yang nantinya akan memilih presiden dan wakil presiden.
Usai Pilpres AS pada 8 November 2016, mereka memberikan suara berdasarkan suara mayoritas pemilih di negara bagian masing-masing yang biasanya dilakukan pada Rabu pekan kedua Desember. Untuk Pilpres AS 2016, electoral college dijadwalkan berlangsung pada 19 Desember. Anggota Electoral College berjumlah 538 orang. Dibutuhkan minimal 270 suara untuk memenangkan pemilihan presiden. Sebanyak 48 negara bagian memperbolehkan kandidat unggul menyapu semua suara. Dengan kata lain, kandidat yang meraih jumlah suara terbanyak di suatu negara bagian, otomatis mengambil semua jatah electoral votes negara bagian tersebut.
Ambil contoh Donald Trump di Texas. Negara bagian yang terkenal dengan koboinya itu memiliki 38 suara. Jika kandidat Partai Republik itu memenangi suara rakyat di Texas, maka elector dari Texas otomatis memberikan suara bagi Trump. Namun, sistem tersebut tidak berlaku di negara bagian Maine dan Nebraska. Nebraska memiliki jatah lima suara, yakni tiga untuk kongres distrik dan dua senator. Dua dari lima suara secara otomatis masuk ke pemenang suara rakyat dalam Pilpres AS di negara bagian tersebut. Sementara tiga jatah lainnya diberikan kepada pemenang suara rakyat dari setiap distrik.
Berdasarkan penghitungan yang diakukan New York Times, Hillary Clinton berhasil meraih 65.818.318 suara (48,1%) sementara Donald Trump meraih 62.958.211 (46,0%) dalam popular votes. Akan tetapi, Trump unggul 306 suara berbanding 232 suara milik Hillary Clinton dalam electoral votes yang jauh lebih menentukan. Sejumlah negara bagian kunci seperti Florida (29 suara), Texas (38 suara), Ohio (18 suara), dan Pennsylvania (20 suara) berhasil direnggut Donald Trump meski Hillary Clinton menyapu suara di California (55 suara) dan New York (29 suara).
Respons Beragam
Kekalahan tersebut menjadi pukulan berat bagi Partai Demokrat. Mereka sudah mengerahkan segala kekuatan, termasuk kampanye dukungan yang dilakukan Presiden Barack Obama dan ibu negara Michelle Obama untuk Hillary Clinton. Mereka juga terlihat lebih solid dibandingkan Partai Republik yang terpecah karena skandal Donald Trump. Bocoran e-mail milik Ketua Pemenangan Hillary, John Podesta, diduga kuat menjadi penyebab kekalahan. Rusia dan WikiLeaks –pembocor surel Podesta- dituduh sengaja ikut campur dalam Pilpres AS 2016 untuk memenangkan Donald Trump.
Reaksi beragam ditunjukkan dunia terhadap kemenangan Donald Trump. Mayoritas pemimpin dunia bersikap hati-hati dengan mengucapkan selamat kepada pengusaha properti kelas kakap itu. Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, dan Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi pihak yang paling senang dengan kemenangan Donald Trump. Duterte diketahui mengidolakan Trump, Abe memujinya sebagai orang dengan talenta luar biasa, dan Putin memuji serta menyampaikan harapan agar hubungan AS dengan Rusia membaik di bawah kendali Trump.
Sejak kemenangannya, suami dari Melanija Knavs itu disibukkan dengan pembentukan kabinet pemerintahan. Trump langsung membentuk Tim Transisi seusai bertemu dengan Presiden Barack Obama di Gedung Putih untuk membahas pergantian kepemimpinan. Sejumlah nama sudah diajukan untuk duduk di pemerintahan, akan tetapi nama-nama tersebut masih harus menunggu restu dari Kongres AS. Sebab, para menteri itu nantinya akan mewakili kebijakan Donald Trump, baik di dalam maupun luar negeri, hingga masa jabatannya berakhir pada 2020.
(Rifa Nadia Nurfuadah)