JAKARTA - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR RI tentang Pelindo II Rieke Diah Pitaloka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terkait dengan perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, temuan BPK RI mengenai perpanjangan kontrak JICT itu telah terindikasi merugikan negara sekira Rp 4,08 triliun.
"Dari pihak pansus sendiri kita melihat ada indikasi bahwa terjadinya dugaan kuat penyimpangan atas perundangan dan terindikasi dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,08 triliun sehingga kami menilai telah memenuhi tindak pidana korupsi," papar Rieke usai bertemu pimpinan KPK di Gedung Merah Putih KPK Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
Pansus sendiri menganggap hal itu telah diatur pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tertuang dalam Pasal 8 ayat 3 dan ayat 4.
"Kami mengajukan kepada KPK RI agar melanjutkan hasil temuan ini dengan proses penyidikan. Namun demikian tadi terjadi diskusi yang saya kira cukup penting," tutup Rieke.
Sekadar diketahui, ada lima temuan yang didapatkan BPK RI, pertama,perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT yang ditandatangani PT Pelindo II dan HPH tidak menggunakan permohonan ijin konsesi kepada Menteri Perhubungan terlebih dahulu.
Kedua, rencana perpanjangan PT JICT tidak pernah dibahas dan dimasukkan sebagai rencana kerja dan RJPP dan RKAP PT Pelindo II, serta tidak pernah diinfokan kepada pemangku kepentingan dalam Laporan Tahunan 2014. Padalah rencana itu telah dinisiasi oleh Dirut PT Pelindo II sejak tahun 2011.
Ketiga, perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT ditandatangani oleh Pelindo II dan Hutchison Port Holding tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan RUPS dan persetujuan dari Menteri BUMN.
Keempat, penunjukkan Hutchison Port Holding oleh PT Pelindo II sebagai mitra tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya. Dan terakhir, soal penunjukkan Deutsche Bank sebagai financial advisor. Hal itu, diduga oleh BPK bertentangan dengan peraturan perundangan.
(Ulung Tranggana)