TOKYO – Masih terekam dalam benak Takuya Yokota bagaimana dirinya menggenggam erat sebuah senter dan berlari ke lautan bersama ibu dan saudara kembarnya. Mereka bertiga berupaya mencari kakaknya, Megumi Yokota, di dalam kegelapan sembari sesekali meneriakkan namanya.
Megumi yang saat itu berusia 13 tahun hilang saat dalam perjalanan pulang dari sekolah pada November 1977. Gadis remaja itu diduga diculik, berdasarkan gambar yang muncul puluhan tahun kemudian, oleh mata-mata Korea Utara (Korut) untuk dipekerjakan sebagai guru.
“Rumah kami ditenggelamkan ke dalam kegelapan tanpa dasar. Setiap hari setelah peristiwa itu sangat sunyi dan berat,” tutur Takuya Yokota, mengutip dari Reuters, Rabu (1/11/2017).
Nama Megumi Yokota kembali mencuri perhatian karena Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengangkat kasus penculikan tersebut untuk menyerang Korut. Trump menyebut nama gadis itu dalam pidatonya di hadapan Sidang Majelis Umum PBB pada September.
Presiden AS ke-45 itu diyakini akan kembali menyebut nama Megumi Yokota saat berkunjung ke Jepang pada akhir pekan mendatang. Trump bahkan berencana mengunjungi keluarga Megumi dan korban penculikan mata-mata Korut lainnya.
Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe sendiri pernah menyatakan bahwa penculikan tersebut adalah salah satu prestasi politik yang hendak dicapainya. Pria berusia 63 tahun itu tidak akan mau beristirahat sampai 13 orang yang diakui diculik oleh Korut dikembalikan serta mendapat informasi rinci mengenai korban penculikan lainnya.
Namun, progres terkait penculikan tersebut mengambang sejak 2002 ketika lima dari 13 orang yang diculik itu dipulangkan oleh Korut. Pyongyang saat itu mengatakan delapan orang sisanya, termasuk Megumi, sudah meninggal dunia.