William menjelaskan, ada tiga peraturan yang butuh penyesuaian terkait pengelolaan pemanfaatan ruang bawah tanah, yaitu Perda) tentang Pengelolaan Ruang Bawah Tanah yang sudah masuk Program Legislatif Daerah (Prolegda) 2018, Undang-Undang (UU) Pertanahan, dan revisi UU Nomor 29/2007 tentang Kekhususan Ibu Kota Jakarta yang baru masuk rancangan draft kedua.
Menurut Wiliam, ketiganya harus diselesaikan. Berdasarkan pengalaman di luar negeri ruang bawah tanah sangat efektif untuk dimanfaatkan. Bisa berperan sebagai ruang alternatif pejalan kaki di area tropis seperti Jakarta agar terhindar dari panas dan hujan serta ruang integrasi dengan transportasi lain.
"Pembuatan aturan ini dilakukan agar pada pengelolaannya MRT tidak salah dan berakhir menjadi temuan. Di Jakarta, pembuatan jalur bawah tanah masih berlangsung di bawah jalur jalan publik yang menjadi milik pemerintah. PT MRT tidak bisa melakukan pembelokan jalur karena khawatir terbentur lahan bawah tanah milik sektor swasta," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perkretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana meminta PT MRT meningkatkan pengawasan dan memiliki estimasi perencanaan yang matang. Sebab, berdasarkan evaluasi fasei I Lebak Bulus-Bundaran HI, MRT yang telah memiliki kontraktor dan subkontraktor untuk membangun transportasi berbasis rel tersebut sangat lemah dalam mengawasinya.
Lemahnya pengawasan MRT terhadap kontraktor dan subkontraktor muncul dana tambahan di ujung pengerjaan. "Jadi meskipun ada payung hukum, kalau perencanaanya tidak matang,operasional tidak maksimal," ucapnya.
(Angkasa Yudhistira)