"Ada seorang wanita yang mereka ambil dari truk dan menembaknya di belakang kepala. Banyak orang berkerumun. Saya tanya apa yang terjadi, tapi tak ada yang menjawab," katanya.
Kejadian lain saat Taylor tinggal di Soussa. "Mereka menyuruh menyalib seseorang dengan catatan di lehernya. Tapi saya tak tahu apa isinya. Saya tak mengerti bahasa Arab," ujarnya.
Dia mengatakan siapa pun yang secara terbuka menentang kekejaman dan penindasan akan dipenjara atau dipenggal lehernya.
Taylor mengaku bertemu beberapa warga Australia di Suriah selain Neil Prakash.
"Aku bertemu dia ketika berada di Raqqa," katanya.
Neil saat itu membuat video bersama kepala media ISIS dan meminta Taylor ikut. "Saya duduk di sana selama 10 menit, dan muncul dalam video selama satu detik," katanya.
Menurut dia, Neil Prakash mengaku memiliki masalah ginjal.
Terlalu miskin untuk membeli budak
Taylor mengaku salah satu penyesalannya ketika hidup bersama ISIS yaitu dia tidak mampu membeli budak wanita dari kaum Yazidi.
"Saya ingin memiliki (budak), tapi tidak pernah mendapatkannya," ujarnya.
"Untuk membeli budak, kita perlu USS4.000 dolar atau setara Rp56.527.000 untuk wanita 50 tahun ke atas," jelasnya.
"Untuk wanita yang layak, setidaknya perlu USS10.000 atau 20.000 atau sekira Rp282.635.000. Saya tidak punya uang sebanyak itu. Saya terlalu miskin," tambah Taylor.
Menurut dia, jika punya budak, dia berhak melakukan apa pun atas orang itu, terlepas dari fakta bahwa para wanita itu diambil paksa.