JAKARTA - Jelang Pemilu 2019, muncul upaya delegitimasi terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, mengatakan upaya tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dia meyakini penyelenggara pemilu maupun instansi pendukungnya sudah bekerja sesuai amanat undang-undang. "Upaya mendelegitimasi penyelenggara pemilu sangat berbahaya, karena secara tidak langsung mengindikasikan adanya sekelompok masyarakat yang berkeinginan agar pemilu gagal dan chaos,” kata Ujang kepada wartawan, Rabu (13/3/2019).
(Baca Juga: Dicurigai Tidak Fair Selenggarakan Pemilu, KPU: Kami Tidak Akan Berbuat Curang)
Sejumlah lembaga negara seperti KPU hingga Polri kerap diterpa propaganda untuk mendelegitimasi pemilu. Di KPU misalnya, muncul isu 70 juta surat suara yang sudah tercoblos 01, namun kabar itu ternyata hoaks. KPU bahkan sudah melaporkan peristiwa ini ke Mabes Polri.
Terbaru adalah upaya delegitimasi yang menyerang Polri. Media sosial diramaikan oleh informasi bahwa Polri tidak netral dalam Pilpres 2019. Akun Twitter @Opposite6890 menuding Polri memiliki pasukan buzzer yang mendukung upaya pemenangan Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden petahana.
Isu itu pun langsung dibantah. Polri menyebut akun tersebut sengaja melakukan propaganda untuk mendelegitimasi Pemilu 2019. Ujang meyakini seluruh penyelenggara pemilu akan bekerja sesuai rules of the game. Karenanya tidak elok bila ada pihak yang terus menyalahkannya.
"Mereka akan mengikuti perintah undang-undang. Tidak elok terus menyalahkan penyelenggara Pemilu. Toh jika ada sesuatu yang salah dari KPU maupun Bawaslu, mari kita kontrol bersama," ucap dia.
(Baca Juga: Polri Bantah Postingan Akun Opposite6890 soal Mengorganisir 'Buzzer' Politik)
Menurut Ujang, demokrasi akan rusak bila masyarakat tidak lagi percaya pada penyelenggara pemilu. Ia meyakini penyelenggara pemilu maupun instansi pendukungnya tidak main-main dalam bekerja, apalagi condong ke paslon tertentu. Hal ini telah dibuktikan dengan survey yang menyebut 80 persen masyarakat masih percaya dengan kinerja KPU dan Bawaslu.
"Berdemokrasi bukan untuk saling menyalahkan, Bukan untuk saling mendelegitimasi. Jika ada kesalahan, misalnya soal DPT, mari kita koreksi bersama-sama. Demokrasi menjadi rusak jika masyarakat tidak lagi percaya kepada institusi-institusi demokrasi seperti KPU dan Bawaslu. Dan ini sangat berbahaya," tutur dia.
(Fiddy Anggriawan )