Laura dan saya bertemu di suatu kantor bercat abu-abu di London. Di sana dia menunjukkan bukti-bukti penemuan foto-foto saya secara daring. Ada sejumlah profil palsu dengan foto saya, seperti "Khira" di Tinder, "Andrea" di Instagram, dan "Jasmine" di Facebook.
Kemudian, Laura memperlihatkan saya akun-akun lain yang tidak terbayangkan sebelumnya: di laman layanan escort Prancis, chat seks, dan sejumlah situs porno. Begitu banyak foto yang menatap balik ke saya.
Ada satu profil di laman sexting menggunakan foto saya berusia 19 tahun dengan judul: "Siapa yang mau main skenario perkosaan sekarang?"
Jika seseorang setuju untuk melakukan obrolan seks atau pornografi maka saya tidak melihat ada yang salah dengan itu, tetapi saya tidak pernah melakukan pornografi dan saya tidak menyetujui foto-foto saya digunakan untuk hal itu.
Melihat semua bukti itu dengan mata sendiri benar-benar bikin sakit. Masalahnya begitu besar, saya tidak tahu apakah akan bisa menanganinya, tetapi setidaknya saya perlu tahu mengapa hal itu terus terjadi.
Menurut Laura, sebagian alasannya adalah karena saya memiliki beragam foto rumahan dalam keadaan santai di akun media sosial saya, yang dapat dipadukan dengan gambar model-model glamor masa lalu. Ini berarti lebih mudah untuk menciptakan persona lebih utuh menggunakan foto-foto tersebut.
"Gambar-gambar kamu sangat sangat realistis," kata Laura. "Banyak orang seperti kamu yang profilnya terbuka [untuk diakses] karena tuntutan pekerjaan. Ini yang membuat jauh lebih mudah bagi para penipu karena gampang masuk dan tinggal mencomot materinya."
Foto-foto lama telanjang dada itu rasa-rasanya benar-benar menghantui saya. Di setiap situasi, saat bertemu dengan kenalan-kenalan, membuat saya mengira-ngira apakah mereka juga telah melihat foto-foto itu. Apa yang akan mereka pikirkan bila mencari data saya lewat Google?
Saat kali pertama memutuskan untuk berfoto telanjang dada ketika masih remaja, saya tidak punya gambaran seperti apa internet berdampak.