"Artinya, partai politik memiliki kewajiban moral sekaligus kewajiban konstitusi untuk melaksanakan Maklumat tersebut. Sehingga dalam menjalankan roda organisasi partai, mereka harus memahami spirit dari maklumat tersebut. Termasuk di dalamnya kewajiban untuk menjaga keamanan rakyat," katanya.
Ditegaskan LaNyalla, partai politik bukanlah satu-satunya pemegang mandat kedaulatan rakyat. Karena, sebelum Amandemen 20 tahun yang lalu, kedaulatan rakyat berada di Lembaga Tertinggi Negara, yang terdiri dari representasi partai politik, utusan daerah dan utusan golongan.
"Tetapi seperti kita tahu, setelah amandemen, kedaulatan rakyat diserahkan melalui pemilihan langsung di dua kutub, yakni di parlemen kepada partai politik dan perorangan peserta pemilu, yaitu anggota DPD RI, lalu kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung," papar LaNyalla.
Dengan demikian, DPR RI, DPD RI dan Presiden menjadi sejajar. Tetapi ironisnya, kewenangan DPD RI menjadi sangat terbatas, bila dibandingkan dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di masa lalu. Di mana mereka memiliki kewenangan untuk mengusung dan memilih calon presiden di forum MPR.
Baca juga: Ketua DPD Apresiasi Kebun Raya Katingan Jadi Pusat Pembibitan Buah Tropis di Kalteng
"Saat ini, partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih," kata LaNyalla.
Baca juga: Oknum Guru Hina Pelajar Miskin dan Bodoh, Fahira Idris: Harus Ada Sanksi Tegas!
Dikatakan, kekuasaan yang begitu besar yang dimiliki partai politik, seolah menjadikan partai politik melalui fraksi di DPR RI, adalah satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
"Dengan kekuasaan itu, salah satunya adalah inisiatif DPR untuk membentuk Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Dari sinilah persoalan bangsa ini semakin kompleks, karena Presidential Threshold memiliki tiga persoalan mendasar," tegas LaNyala.