UKRAINA - Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan Ukraina dan Rusia hampir mencapai kesepakatan tentang isu-isu "kritis" dan pihaknya yakin gencatan senjata bisa dilakukan asalkan tidak ada pihak yang memutuskan untuk mundur.
Dalam sebuah wawancara dengan harian Istanbul Hurriyet, pada Minggu (20/3), Cavusoglu – yang melakukan perjalanan ke Moskow dan Kiev untuk pertemuan minggu lalu – mengindikasikan bahwa telah terjadi penyesuaian posisi kedua belah pihak pada subjek penting yakni subjek kritis.
“Kami dapat mengatakan kami berharap untuk gencatan senjata jika pihak tidak mengambil langkah mundur dari posisi saat ini,” terangnya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mengatakan kepada Al Jazeera, Moskow dan Kiev dekat dalam empat masalah utama yang mengutip sumber di garis merah Rusia di Ukraina. Yakni bersumpah untuk tidak bergabung dengan NATO, demiliterisasi dan "denazifikasi" negara itu, dan perlindungan bahasa Rusia.
Baca juga: Pembicaraan Damai Rusia-Ukraina Capai Kemajuan, Hasil Positif Bisa Segera Tercapai
Kalin mengatakan gencatan senjata permanen harus dilakukan melalui pertemuan langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Sebelumnya, pembantu Presiden Ukraina Mikhail Podolyak mengatakan pada Kamis (17/3) bahwa Zelensky dapat bertemu Putin dalam beberapa minggu mendatang tetapi hanya jika perjanjian damai sudah siap.
Beberapa putaran pembicaraan antara delegasi Rusia dan Ukraina di Belarusia gagal menghasilkan terobosan, tetapi mengarah pada kerja sama dalam mengorganisir koridor kemanusiaan untuk evakuasi warga sipil.
Pekan lalu, Financial Times melaporkan bahwa kemajuan "signifikan" telah dibuat dalam pembicaraan dan bahwa rencana 15 poin telah disusun. Namun, laporan itu dibantah oleh Moskow dan Kiev.
Diketahui, Moskow menyerang tetangganya pada akhir Februari, menyusul kebuntuan tujuh tahun atas kegagalan Ukraina untuk menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, dan pengakuan akhirnya Rusia atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS, sementara Kiev bersikeras bahwa serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah tuduhan bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali dua wilayah yang memisahkan diri dengan paksa.
(Susi Susanti)