Ekonomi Taiwan sangat menderita selama perang, dan serangan udara Amerika menewaskan ribuan warga sipil. Namun demikian, pada akhir perang, banyak orang Taiwan sangat optimis tentang masa depan mereka.
Perang Saudara China
Setelah Jepang meninggalkan koloninya, Taiwan menjadi bagian dari Republik Rakyat China (RRC), negara yang didirikan di daratan Tiongkok pada 1911 ketika kaisar terakhir digulingkan oleh Sun Yat-sen dan para pendukungnya. Saat itu terjadi persaingan antara Nasionalis Kuomintang dan Komunis untuk mengendalikan sumber daya vital, serta pusat populasi di China utara juga Manchuria.
Pasukan nasionalis yang menggunakan fasilitas transportasi militer Amerika Serikat (AS), mampu mengambil alih kota-kota utama dan sebagian besar jalur kereta api di China Timur dan Utara. Sementara itu, pasukan Komunis menduduki sebagian besar pedalaman di utara dan di Manchuria. Nasionalis dan Komunis sempat akan berdamai sebelum penyerahan Jepang diselesaikan.
Pemimpin Nasionalis Chiang Kai-shek mengeluarkan serangkaian undangan kepada pemimpin Komunis Mao Zedong untuk bertemu dengannya di Chongqing, guna membahas penyatuan kembali dan pembangunan kembali negara itu.
Pada 28 Agustus 1945, Mao ditemani oleh Duta Besar Amerika Patrick Hurley tiba di Chongqing. Kemudian pada 10 Oktober 1945, kedua pihak mengumumkan bahwa mereka pada prinsipnya telah mencapai kesepakatan memperjuangkan China yang bersatu dan demokratis.