JAKARTA - Dewan Pers mengajak seluruh elemen untuk berkolaborasi menjaga kemerdekaan jurnalistik, terutama jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Demikian disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.
Dia mengatakan, saat ini kemerdekaan pers di Indonesia masih harus diperjuangkan. Menurutnya, kemerdekaan pers perlu didukung oleh masyarakat, pemerintah, penegakan hukum yang berani, terbuka dan akuntabel.
"Kemerdekaan pers juga membutuhkan dukungan dari presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, termasuk dalam lingkup regulasi yang berpotensi memunculkan kemunduran dan stagnasi dalam kemerdekaan pers,” ujar Ninik dalam konferensi pers di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
Dia juga meminta dukungan dari para pemilik perusahaan pers. Menurutnya, semangat tinggi untuk mendirikan perusahaan pers harus disertai dengan kemampuan untuk mensejahterakan karyawan.
Kemudian, penguatan kompetensi wartawan dalam menjalankan tugas jumalistik secara profesional. Ini selaras dengan paradigma keberlanjutan media yang juga menjadi perhatian Dewan Pers akhir-akhir ini.
Selain itu, komunitas pers nasional juga diminta untuk menjunjung tinggi etika dan bekerja penuh integritas guna bersama-sama memerangi konten yang tidak bertanggung jawab serta memecah belah, dan berdampak buruk bagi masyarakat.
"Dalam kontestasi 2024, pers harus mampu menjadi solusi bagi publik dengan memberikan informasi yang akurat, bertanggung jawab, dan sesuai kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar publik tidak salah dalam memilih pemimpin bangsa dan perg Inampu menjaga iklim demokrasi yang sehat," tutur Ninik.
Ninik menegaskan, tegaknya negara demokrasi ditandai antara lain oleh adanya benghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kemerdekaan pers. Tahun 2024 adalah tahun politik menyongsong pelaksanaan Pemilu 2024.
Pemilu merupakan proses demokrasi yang akan menentukan masa depan bangsa dan menjadi penentu wajah demokrasi Indonesia berikutnya. Tanpa pemilu yang jujur, adil, dan terbuka, Kualitas demokrasi akan turun.
Tugas insan pers dalam tahun politik adalah mendukung hadirnya pemilu yang kondusif dan demokratis. Ninik merefleksikan penyelenggaraan pemilu sebelumnya pada 2014 dan 2019. Saat itu, ditemukan sejumlah pemberitaan yang tidak hanya melanggar Kode Etik Jurnalistik dan menyalahi kehadiran pers sebagai pilar keempat demokrasi, tetapi juga berpotensi meruntuhkan sendi-sendi keutuhan berbangsa dan bernegara.
“Karena karya jurnalistik adalah buah dari pelaksanaan fungsi pers, hendakla berkontribusi untuk mengokohkan pilar demokrasi, bukan sebaliknya digunakan sebaga sarana untuk meruntuhkan demokrasi,” kata Ninik.
Ninik juga menyinggung adanya upaya Dewan Pers untuk terus melindungi karya jurnalistik dengan salah satunya menerbitkan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pengelolaan Akun Media Sosia Perusahaan Pers.
Kemajuan, Stagnansi, dan Kemunduran selama satu tahun terakhir, Ninik mengakui bahwa kondisi kemerdekaan pers saat ini mengalami kemajuan, juga kemandekan dan kemunduran di beberapa aspek. Untuk kemajuan, kemerdekaan pers di Indonesia mengalaminya dalam aspek litigasi dan legislasi.
Sementara dalam aspek regulasi, meningkatnya kesamaan persepsi tentang penegaka UU Pers, setidaknya antara kepolisian dan pengadilan (polisi dan hakim), terlihat dari Perjanjian Kerja Sama yang ditandatangani pada 10 November 2022 sebagai tinda lanjut dari Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri pada Maret 2022.
Jika ada kasus pers yang dilaporkan ke polisi, polisi bersedia merekomendasikan ke Dewan Pers untuk ditangani berdasarkan UU Pers.
Kemajuan lainnya adalah berupa dukungan dari pemerintah daerah yang menguatka UU Pers serta menguatkan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
"Dukungan ini sungguh penting karena dapat mencegah adanya wartawan atau perusahaan pers yang tidak profesional. Kemajuan lain dalam aspek legislasi adala Putusan MK yang menguatkan UU Pers, bahwa Dewan Pers dalam menjalankan fungsi Pasal 15 UU Pers adalah lembaga yang menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawa dan pendataan perusahaan pers," jelasnya.
Sementara, untuk stagnasi Ninik menunjuk keberadaan UU ITE yang masih menjadi ancaman terhadap kerja jurnalistik. Kata Ninik, Stagnasi muncul karena rencana peninjauan dan perubahan atas UU ITE untuk di harmonisasikan dengan UU Pers tidak berjalan.
Stagnasi lainnya adalah ketiadaan mekanisme dukungan bagi wartawan. Baik dari aspek kesejahteraan maupun perlindungan dari kekerasan.
"Semakin maraknya peretasan terhadap platform media siber dengan menunjukkan tekhnologi juga menunjukkan adanya upaya pembungkaman terhadap pers yang menjalankan peran memenuhi hak masyarakat atas informasi," jelas Ninik.
Ninik menuturkan, oleh sebab itu, membangun sistem keamanan dalam platform media siber perlu menjadi perhatian serius sebagai gerakan untuk melawan segala bentuk ancaman kemerdekaan pers.
"Kemudian, untuk kemunduran pers membutuhkan akses untuk informasi serta bebas dari ketakutan dan kekhawatiran dalam mengakses maupun menyebarluaskan gagasan dari informasi. Sesuai termaktub dalam UU Pers," kata Ninik.
Dia menerangkan, tertutupnya akses informasi serta hilangnya jaminan perlindungan dalam mengakses dan menyebarluaskan informasi akan menghalangi-halangi pers untuk berperan dan menjalankan fungsi maksimal. Terutama fungsi kontrol sosial.
(Angkasa Yudhistira)