JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan perkara dugaan gratifikasi mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT), hari ini, Rabu 8 November 2023. Agenda sidang masih pemeriksaan saksi-saksi.
Tim penasihat hukum Rafael Alun, Junaedi Saibih mengklaim bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat membuktikan aliran uang gratifikasi ke kliennya. Kata dia, belum ada saksi yang dapat membuktikan penerimaan gratifikasi senilai 90 ribu dollar AS ke Rafael.
"Hari ini terakhir saksi fakta, sampai hari ini tidak ditemukan ada saksi yang mengatakan bahwa ada pemberian uang sebesar USD 90 ribu ke Pak Alun, padahal waktu dia ditahan pertama sangkaan dugaannya menerima sebesar USD 90ribu, dan itu disebutkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri saat penahanan," ujar Junaedi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023).
Junaedi mengatakan, pada saat Rafael Alun diumumkan sebagai tersangka, KPK menyebut akan membuktikan penerimaan 90 ribu dollar AS oleh Rafael Alun. Namun, hingga akhir persidangan saksi fakta, KPK tak mampu membuktikannya. Junaedi menambahkan, sidang pekan depan mengagendakan pemeriksaan saksi ahli dan saksi meringankan.
"Saya ingin mengatakan bahwa orang itu ditahan dengan objek penerimaan gratifikasi USD 90 ribu, tapi tak bisa dibuktikan. Ini kan masalah proses penegakan hukum. Minggu depan saksi ahli KPK, dan Rabu saksi meringankan dari pihak kami, penasihat hukum," kata dia.
Tak hanya itu, Junaedi juga mengkritisi soal isi dalam safe deposite box (SDB) milik Rafael Alun yang disita oleh KPK. Di mana, kata Junaedi, ada perbedaan pernyataan isi dalam SDB Rafael Alun.
"Yang diumumkan itu mereka membuka dan menghitung pada saat belum ada penyidikan mereka membuka dan menghitung mereka menyampaikan isi SDB Pak Alun adalah Rp37 miliar, dan ketika kita menerima berkas persidangan, dokumen sita uang itu disita dari Bank Mandiri sebanyak Rp 32 miliar, menurun," kata dia.
Lagipula, menurut Junaedi, sejatinya SDB tidak bisa dibuka begitu saja tanpa adanya kehadiran dari pihak Rafael Alun.
"Jadi kan SDB ini tidak boleh dibuka karena kan ini seperti sewa rumah, setidaknya harus ada perwakilan dari si penyewa, baik itu Pak Alun, kuasa hukum atau keluarga, nah ini tidak pernah ada," kata dia.
Atas dasar itu, Junaedi berharap sebelum masuk persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli, pihak KPK bisa menghadirkan pihak Bank Mandiri yang bisa membuktikan isi SDB Rafael Alun.
"Nah kita sebenarnya ingin pihak Bank Mandiri ini diperiksa, kenapa? Karena ada perbedaan barang bukti. Kami hanya ingin memastikan fakta pada saat Mandiri membuka itu dan menghitung itu tanggal berapa, apakah sebelum atau sesudah penyidkan dan yang kedua uangnya berapa yang dihitung karena dari Pak Alun tidak ada perwakilan. Kalau yang diumumkan awal 37M lalu yang disita 32M, lalu Rp5 miliarnya kemana? Kita mau memastikan saja," kata dia.
Selain itu Juanedi juga berharap KPK menghadirkan saksi yang bisa membuktikan penerimaan gratifikasi Rafael Alun sebesar 90 ribu dollar AS.
"Intinya kami ingin saksi faktanya dihadirkan di persidangan. Jangan sampai ada dugaan bahwa Klien kami menjadi korban penyidikan yang menyalahi prosedur dan tidak sesuai teknis tanggung jawab profesi," pungkasnya.
Sekadar informasi, Rafael Alun Trisambodo didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp16.644.806.137 (Rp16,6 miliar). Ayah Mario Dandy Satriyo tersebut didakwa menerima gratifikasi belasan miliar bersama-sama dengan istrinya, Ernie Meike Torondek.
Rafael Alun dan istrinya menerima gratifikasi melalui maupun berasal dari beberapa perusahaan di antaranya, PT Artha Mega Ekadhana (PT ARME); PT Cubes Consulting; PT Cahaya Kalbar; dan PT Krisna Bali International Logistik.
Rafael Alun dan Ernie Meike Torondek menerima gratifikasi melalui PT ARME sebesar Rp1,6 miliar dari para wajib pajak. Selain itu, Rafael Alun juga menerima dana taktis yang bersumber dari para wajib pajak melalui PT ARME sejumlah Rp2,56 miliar.
Kemudian, Rafael Alun juga menerima uang sebesar Rp4,4 miliar melalui PT Cubes Consulting. Uang tersebut merupakan pendapatan Rafael Alun atas jasa operasional perusahaan yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Rafael Alun disebut juga menerima Rp6 miliar yang kemudian disamarkan lewat pembelian rumah di Taman Kebon Jeruk Blok G1 Kavling 112, Jakarta Barat. Uang yang disamarkan dalam bentuk rumah itu diberikan oleh anak usaha PT Wilmar Group, PT Cahaya Kalbar selaku wajib pajak di Kantor Pusat DJP Jakarta.
Terakhir, Rafael disebut menerima uang sejumlah Rp2 miliar dari Direktur PT Krisna Group, Anak Agung Ngurah Mahendra.
Atas perbuatannya, Rafael Alun didakwa melanggar Pasal 12 B Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(Arief Setyadi )