GAZA - Nakba (diterjemahkan sebagai 'bencana') merujuk pada pemindahan dan pengusiran paksa warga Palestina, bersama dengan penghancuran masyarakat, budaya, identitas, hak politik, dan aspirasi nasional mereka.
Istilah ini menggambarkan terutama peristiwa tahun 1948, melibatkan juga pendudukan berkelanjutan di wilayah Palestina seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta penganiayaan dan pengungsian warga Palestina di berbagai wilayah.
Bagi narasi nasional Palestina, Nakba menjadi suatu trauma kolektif yang membentuk identitas nasional dan aspirasi politik mereka.
Namun, narasi nasional Israel menolak pandangan ini, dan menganggap Nakba sebagai bagian dari perang kemerdekaan yang mewujudkan aspirasi Yahudi untuk memiliki negara dan kedaulatan.
Nakba menjadi pemicu utama diaspora Palestina, seiring dengan penciptaan Israel sebagai tanah air Yahudi. Dampaknya adalah transformasi orang-orang Palestina menjadi "negara pengungsi" dengan "identitas pengembara."
Saat ini, mayoritas dari total 13,7 juta warga Palestina tinggal di diaspora, terutama di negara-negara Arab di luar wilayah sejarah Mandat Palestina. Dari 6,2 juta yang terdaftar oleh UNRWA (Badan Pengungsi Palestina PBB), sekitar 40% tinggal di Tepi Barat dan Gaza, sementara 60% berada di diaspora.
Banyak dari mereka belum terintegrasi dengan negara tempat tinggal mereka, menyebabkan ketegangan, seperti yang terjadi antara warga Palestina di Lebanon atau saat eksodus warga Palestina dari Kuwait pada 1990–91.
Dilansir dari berbagai sumber, peristiwa Nakba terjadi selama dan pasca Perang Palestina tahun 1948. Ini melibatkan pernyataan 78% wilayah Wajib Palestina sebagai bagian dari Israel, pengusiran dan pengungsian sekitar 700.000 warga Palestina, depopulasi dan penghancuran lebih dari 500 desa Palestina oleh milisi Zionis dan kemudian oleh tentara Israel.
Tindakan ini juga mencakup penghapusan geografis, penolakan hak kembali warga Palestina, penciptaan pengungsi Palestina yang bersifat permanen, serta "runtuhnya masyarakat Palestina."
Ketika nakba ini terjadi, identitas Palestina menjadi terkait erat dengan "penderitaan," dan deteritorialisasi penduduk Palestina menciptakan elemen pemersatu dan fokus dalam keinginan mereka untuk kembali ke tanah air yang telah hilang.
Pada November 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang membagi Palestina menjadi dua negara, satu Yahudi dan satu Arab, dengan Yerusalem di bawah pemerintahan PBB.
Dunia Arab menolak rencana tersebut, menganggapnya tidak adil dan melanggar Piagam PBB. Milisi Yahudi menyerang desa-desa Palestina, memaksa ribuan orang mengungsi.
Situasi ini berkembang menjadi perang besar pada 1948, mengakhiri Mandat Inggris dan menyaksikan deklarasi kemerdekaan Israel, serta masuknya pasukan Arab. Pasukan Israel yang baru terbentuk meluncurkan serangan besar, menyebabkan perpindahan permanen lebih dari separuh penduduk Palestina.
Pada awal Desember 1948, Majelis Umum PBB menyerukan pemulangan pengungsi, restitusi properti, dan kompensasi (Resolusi 194 (II)).
Namun, setelah 75 tahun, hak-hak warga Palestina tetap diabaikan. Lebih dari 5 juta pengungsi Palestina tersebar di seluruh Timur Tengah, menghadapi pemukiman Israel, pengusiran, penyitaan tanah, dan pembongkaran rumah.
Peringatan Nakba menjadi pengingat bukan hanya pada peristiwa tragis 1948, tetapi juga ketidakadilan yang terus-menerus dialami oleh rakyat Palestina
Nakba membawa dampak besar, dengan kehilangan rumah, tanah, dan gaya hidup mereka. Peristiwa ini terus menjadi kenangan traumatis dalam ingatan kolektif mereka dan terus membentuk perjuangan mereka untuk keadilan dan hak mereka untuk kembali.
Pada 2022, Majelis Umum PBB meminta agar peringatan ini dihormati pada 15 Mei 2023, yang diadakan sehari setelah perayaan kemerdekaan Israel.
(Rahman Asmardika)