Menjaga Resiliensi Sosial Jelang Pemilu 2024

Opini, Jurnalis
Minggu 03 Desember 2023 19:28 WIB
Henny Sulistyorini, kandidat doktor komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan IPB University (foto: dok pribadi)
Share :

PEMILU sudah di depan mata, jika tidak ada halangan, tanggal 14 Februari 2024 bangsa Indonesia yang memenuhi syarat akan memilih anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Secara bersamaan dilaksanakan pula Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode 2024-2029.

Belajar dari pemilu sebelumnya, momentum pemilu berpotensi menghadirkan perselisihan bahkan konflik yang disebabkan karena perbedaan pilihan maupun penolakan terhadap hasil pemungutan suara. Masih lekat dalam ingatan kita pada Pemilu 2019, terjadi kericuhan saat penetapan hasil pemilihan presiden yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dari Prabowo-Sandi dengan selisih suara 11%. Kericuhan di depan kantor Bawaslu pada Rabu 22 Mei 2019 itu sampai menelan korban jiwa meninggal.

Menjaga resiliensi sosial menjadi formulasi yang tepat untuk menghindari terjadinya perselisihan ataupun konflik sosial karena pemilu. Resiliensi didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai kesatuan dari proses, kemampuan dan output dari adaptasi terhadap perubahan dari keadaan yang mengancam (Masten, 1990). Sedangkan Masten (1998) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, bangkit, dan berkembang menjadi lebih baik dari kondisi keterpurukan (Masten, 1999).

Resilensi ditentukan oleh jenis kerawanan yang dihadapi. Selain kemampuan bangkit dan berkembang menjadi lebih baik dari kondisi yang terpuruk, resiliensi juga merupakan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi yang tidak menguntungkan atau tidak diinginkan yang pada masa yang akan datang (Adger, 2000). Mengacu pada pendapat Adger (2000) ini, pada konteks pemilu 2024, resiliensi sosial diperlukan dalam mengantisipasi kerentanan sosial yang mungkin terjadi.

Kerentanan sosial dapat berupa konflik yang mungkin dipicu oleh maraknya berita-berita bohong (hoax) yang tersebar atau sengaja disebar untuk memecah belah masyarakat. Ketidakharmonisan pada akhirnya bermuara pada konflik horizontal. Masyarakat Indonesia yang majemuk rentan terhadap perpecahan maupun konflik.

Kecurigaan mudah muncul karena kondisi ini. Polarisasi yang mungkin terjadi karena dukung mendukung calon dalam pemilu harus diredam dan diantisipasi agar tidak menjadi perselisihan atau perpecahan diantara individu maupun kelompok masyarakat. Perbedaan “selera” terhadap calon pemimpin bangsa merupakan keniscayaan karena perbedaan kondisi demografis maupun sosiologis penduduk Indonesia. Perbedaan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, suku bangsa, status sosial akan memunculkan pola pikir yang berbeda diantara individu dan masyarakat. Perbedaan pola pikir akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam memilih calon pemimpin bangsa.

Sementara itu masing-masing tim pemenangan capres dan cawapres serta anggota legislatif akan menempuh berbagai upaya untuk mendulang suara. Apabila upaya yang dilakukan tidak tepat, misalnya dengan mengangkat isu perbedaan-perbedaan suku, ras, agama maupun perbedaan lainnya, maka kerentanan sosial akan semakin meningkat.

Selain itu, saat proses pencoblosan dan penghitungan suara merupakan titik rentan yang perlu diantisipasi. Balajar dari peristiwa yang terjadi pada 2019, bahwa keikhlasan menerima keputusan dari pendukung yang menelan kekalahan pada momen pemilu sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik.

Mengantisipasi terjadinya perselisihan maupun konflik karena kerentanan sosial yang timbul, perlu meningkatkan kemampuan resiliensi baik individu maupun masyarakat. Tingkat resiliensi tinggi baik individu maupuan masyarakat akan memunculkan kohesivitas sosial (Rita, 2020). Kohesivitas (cohesiveness) adalah kondisi saling lekatnya antar individu dalam kelompok untuk mencapai satu tujuan tertentu dengan motivasi kebersaman. Tinggi rendahnya kohesivitas sosial ditentukan oleh pola hubungan atau relasi sosial individu di dalam kelompok maupun dengan individu lain di luar kelompok, dan antara individu dengan kelompok lainnya. Kelekatan antar individu dengan individu lain baik di dalam maupun di luar kelompoknya dilatarbelakangi beberapa kesamaan, misalnya kesamaan latar belakang, pola pikir, kegemaran, nasib, tujuan dan juga pengalaman.

Membangun resiliensi sosial individu dan masyarakat dapat dilakukan setidaknya dengan 4 upaya antara lain: Pertama, internasilisasi nilai-nilai kebangsaaan. Bangsa Indonesia memiliki berbagai sumber tata aturan nilai sebagai dasar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan Pancasila sebagai tata nilai komprehensif yang bersumber dari nilai agama, sosial dan budaya, berperan strategis dalam pembentukan resiliensi sosial individu maupun masyarakat. Individu dan masyarakat Indonesia harus memahami bahwa keragaman yang ada di Indonesia dalam berbagai hal menjadi bekal untuk saling melengkapi. Rasa saling menghormati dengan perbedaan yang ada mutlak diperlukan. Keragaman selera memiliki pemimpin dan wakil rakyat harus didasari kesadaran penuh bahwa agenda memilih kepemimpinan nasional adalah memperjuangkan kesejahteraan seluruh elemen bangsa.

Kedua, meningkatkan kepedulian sosial/social concern. Kepedulian sosial merupakan lawan dari egoisme yang menjadi salah satu penyakit sosial saat ini. Egoisme atau cenderung berpihak pada kepentingan pribadi dengan berbagai cara yang dilakukan. Pemikiran harus menang dengan berbagai cara yang dilakukan tanpa mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa serta kepentingan nasional harus dikikis.

Ketiga, meningkatkan relasi/jaringan sosial. Relasi atau jaringan sosial akan terbentuk ketika ada komunikasi efentif antar elemen masyarakat. Konvergensi komunikasi berbagai stakeholders, akan bermuara pada adanya kesamaan pemahaman akan suatu hal (mutual unserstanding). Pemahaman yang sama akan menjadi acuan dalam menentukan siapa berbuat apa.

Pertanyaan yang muncul kemudian, lalu siapa yang akan menjadi agen untuk resiliensi sosial menjelang pemilu ini? Atas pertanyaan tersebut, maka model kerjasama pentahelix (Riyanto, 2018) menurut saya merupakan model yang tepat. Ketiga upaya untuk meningkatkan resiliensi sosial tersebut merupakan tanggungjawab bersama antara lima (penta) komponen yaitu akademisi, pemerintah, sektor swasta/bisnis, masyarakat sipil (civil society), dan media massa.

Akademisi, dalam hal ini bertindak sebagai pencetus ide atau gagasan bagaimana resiliensi sosial dikembangkan secara luas dengan formulasi-formulasi baru. Selain itu akademisi memiliki peran penting dalam peningkatan kapasitas aktor-aktor di dalam menumbuhkan dan meningkatkan kelekatan-kelekatan sosial. Pemerintah, dalam hal ini memiliki peran sebagai regulator sekaligus mengontrol berbagai bentuk kerentanan sosial dan resiliensi sosial yang hendak dikembangkan.

Masyarakat, dalam hal ini masyarakat berperan penting dalam mempercepat/akselerasi tumbuh dan berkembangkan resiliensi individu dan sosial. Masyarakat majemuk memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan masyarakat homogen dalam mewujudkan resiliensi sosial. Sektor swasta, berperan dalam menggerakkan tumbuh dan berkembangnya resiliensi sosial. Swasta dengan proses bisnis yang dijalankan memiliki kepentingan tinggi terhadap resiliensi sosial individu dan masyarakat. Keberlangsungan bisnis akan terganggu apabila dering terjadi konflik Selanjutnya ialah media massa.

Media massa memiliki peran strategis dalam medeliver ide, gagasan, upaya maupun formukasi baru dalam memciptakan resiliensi sosial individu mapun masyarakat melalui pemberitaan-pemberitaan yang menumbuhkan sentiment posisif .

Pemilu merupakan momentum untuk menumbuhkan kerjasama saling membantu untuk masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera. Adu gagasan dan program menjadi centre point dalam penentuan Indonesia kedepan. Menumbuhkan kenyamanan, kelekatan antar individu dan masyarakat, serta ketertarikan pada situasi mejelang pemilihan umum penting dilakukan. Perkembangan Artificial Intelligent yang sangat marak di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengatasi segenap kerawanan sosial yang muncul. Tidak mudah memang menumbuhkan dan mengembangkan resiliensi sosial, namun hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan demi Indonesia yang lebih sejahtera. Semoga Pemilu 2024 melahirkan pemimpin berkualitas yang mampu mewujudkan masyarakat Indonesia adil, makmur yang diridhio Allah SWT.

Penulis : Henny Sulistyorini, Kandidat Doktor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaaan IPB University

(Awaludin)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya