UU Keamanan Nasional Kembali Picu Kontroversi, China Dituding Tindas Kebebasan Hong Kong

Rahman Asmardika, Jurnalis
Senin 11 Maret 2024 11:10 WIB
Foto: Reuters.
Share :

HONG KONG – Pemerintah Hong Kong mengumumkan serangkaian undang-undang keamanan nasional baru pada Jumat, (8/3/2024) yang semakin memperkuat tindakan keras terhadap pengkritik dan pemerintah asing.

Rancangan undang-undang baru yang diajukan memperkenalkan serangkaian kejahatan keamanan nasional baru termasuk makar, spionase, campur tangan eksternal, dan pengungkapan rahasia negara. Para pelanggar dapat dijatuhi hukuman, dengan yang paling serius hingga penjara seumur hidup.

Undang-undang yang diduga kuat memiliki pengaruh dari China itu semakin merusak reputasi Hong Kong sebagai pusat bisnis internasional dan mengikuti undang-undang sebelumnya yang dirilis hampir empat tahun lalu.

China telah memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong pada 30 Juni 2020, yang dipandang sejumlah pihak sebagai upaya China untuk menekan seluruh elemen kehidupan masyarakat Hong Kong. 

Sejumlah kelompok masyarakat sipil menentang undang-undang tersebut, dan menyatakan bahwa hal itu dapat berujung pada matinya demokrasi. Sebanyak 86 kelompok masyarakat sipil telah menyuarakan keprihatinan mereka dengan berunjuk rasa ke jalanan Hong Kong.

BACA JUGAUU Keamanan Nasional Hong Kong, Pelanggar Bisa Dihukum Penjara Seumur Hidup

"Pasal 23 adalah upaya terbaru Beijing untuk mengubah Hong Kong dari masyarakat bebas menjadi masyarakat tertindas di mana orang-orang hidup dalam ketakutan," kata Maya Wang, penjabat direktur Human Rights Watch (HRW) untuk China.

"Pengesahan undang-undang ini berarti semakin banyak hak-hak dasar masyarakat Hong Kong yang akan diambil dari mereka," sambungnya, seperti dikutip dari laman The HK Post, Minggu, (10/3/2024).

Asosiasi Jurnalis Hong Kong (HKJA) juga telah menyuarakan kekhawatiran bahwa undang-undang keamanan nasional baru di kota tersebut dapat mempunyai "implikasi luas" bagi pers, di tengah upaya mereka dalam mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi wartawan.

'Rahasia Negara' 

Sesuai dokumen konsultasi publik, undang-undang baru ini mencakup lima jenis kejahatan: makar, pemberontakan, pencurian rahasia negara dan spionase, sabotase yang membahayakan keamanan nasional, dan campur tangan eksternal. Dokumen tersebut menyatakan bahwa sebagian besar pelanggaran dilakukan berdasarkan amandemen undang-undang yang ada, seperti memperluas definisi makar.

Selain itu, serangkaian pelanggaran baru telah diusulkan untuk menangani tindakan terkait "gangguan sipil yang serius di China" dan "mode spionase era modern."

Undang-undang yang diusulkan akan melarang serangkaian pelanggaran yang tidak jelas dengan definisi yang terlalu luas. Aturan tersebut berpotensi menghukum orang-orang yang dinilai "menghasut ketidakpuasan terhadap" pemerintah China.

Perubahan prosedural akan dimanfaatkan untuk melemahkan proses hukum dan hak hukum yang adil, termasuk dengan memperpanjang penahanan oleh polisi tanpa dakwaan dan membatasi akses terhadap pengacara.

Perubahan-perubahan ini akan memperburuk dampak Undang-Undang Keamanan Nasional yang China terhadap Hong Kong pada 2020, yang dinilai telah menekan masyarakat sipil, media independen, dan gerakan demokrasi di kota tersebut, sebut HRW.

HKJA meminta pihak berwenang untuk memberikan definisi yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan terkait pelanggaran, termasuk campur tangan eksternal dan pencurian rahasia negara. Apa yang dimaksud "rahasia negara" terlalu luas dan kurang spesifik, kata HKJA.

Selama ini, jurnalis kerap menerima kebocoran dari sumber pemerintah dari waktu ke waktu, semisal mengenai pergantian pejabat dan pengumuman kebijakan. Sulit bagi pers untuk menentukan apakah sumber tersebut mengungkapkan informasi dengan otoritas yang sah.

Kontroversi Pasal 23 Hong Kong 

Protes terhadap Pasal 23 telah terjadi dua dekade lalu. Pada 1 Juli 2003, di peringatan Hari Serah Terima (Hong Kong dari Inggris kepada China), sebuah aksi massa digelar untuk memprotes Pasal 23 dan menyerukan agar pemimpin eksekutif Hong Kong saat itu Tung Chee-hwa mundur.

Sekira 500.000 orang turun ke jalan kala itu. Mereka mengangkat spanduk bertuliskan "Katakan tidak pada Pasal 23" dan "Anda memalukan." Undang-undang tersebut pada akhirnya tidak disahkan.

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Hong Kong, sebuah konstitusi mini yang disahkan setelah penyerahan pemerintahan kolonial Inggris ke China pada 1997, Hong Kong diharuskan memberlakukan undang-undang yang melarang tindakan yang "membahayakan keamanan nasional."

Upaya untuk menerapkan undang-undang ini di tahun 2003 gagal menghadapi aksi protes yang meluas, lapor Guardian. Namun setelah protes besar-besaran pro-demokrasi pada 2019, pemerintah pusat China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional terpisah di Hong Kong, dengan mengutip kegagalan pemerintah kota untuk membuat UU Pasal 23.

"Masalah ini telah menghantui kita selama 26 tahun," kata Tang Pink-keung, sekretaris keamanan Hong Kong sebagaimana dilansir The Guardian.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee menegaskan bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik dan "potensi sabotase dan arus bawah" sebagai risiko terhadap keamanan nasional merupakan alasan kuat untuk memberlakukan undang-undang tersebut.

Terlepas dari klaim otoritas Hong Kong, kelompok masyarakat sipil telah mendesak pemerintah asing untuk secara terbuka mengecam undang-undang yang diusulkan dan menjatuhkan sanksi, termasuk pembekuan aset serta larangan perjalanan kepada pejabat yang bertanggung jawab di Hong Kong dan China.

Sejauh ini sejumlah negara masih relatif bungkam terhadap usulan undang-undang Pasal 23 di Hong Kong, kata HRW. Hanya sedikit negara yang melontarkan pernyataan formal dan publik yang menentang undang-undang tersebut.

Berbagai kelompok masyarakat sipil dari seluruh dunia mendesak negara-negara dunia untuk secara terbuka menentang pemberlakuan Pasal 23, menjatuhkan sanksi kepada pejabat yang bertanggung jawab, dan melindungi masyarakat serta aktivis Hong Kong yang hidup terasing.

Mereka juga mendesak perusahaan-perusahaan internasional dan kamar dagang asing untuk menyampaikan keprihatinan kepada pihak berwenang Hong Kong dan China, serta mengevaluasi kembali risiko bisnis dan kemungkinan keterlibatan mereka dalam dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya