Dokter Asal AS Ini Jadi Saksi Kelaparan yang Parah di Gaza Utara, Banyak Penderitaan Mengerikan

Susi Susanti, Jurnalis
Senin 29 April 2024 07:07 WIB
Dokter asal AS ini jadi saksi kelaparan yang parah di Gaza utara, penuh banyak penderitaan (Foto: Sam Attar)
Share :

GAZA – Seorang dokter asal Amerika Serikat (AS) Sam Attar mengaku meninggalkan sebagian jiwanya di Gaza. Itu adalah bagian dari dirinya yang melihat penderitaan dan tidak bisa berpaling. Bagian yang sekarang tidak bisa dilupakan.

Anda bisa berada di tepi Danau Michigan pada hari musim semi yang mendung, angin bertiup kencang di atas air yang hijau. Dan pada saat yang sama Anda dapat kembali ke tempat perang berkecamuk, dalam cuaca panas dan sekarat.

Sudah tiga minggu sejak dia pulang ke Chicago, tapi mungkin juga baru terjadi kemarin. Wajah-wajah dari dunia mengerikan itu tetap tinggal bersamanya. Seperti wajah Jenna, gadis kecil yang trauma dan terbaring lemah, pucat pasi di ranjang rumah sakit, sementara ibunya menunjukkan kepada Sam video telepon tentang ulang tahun terakhir anak tersebut. Hari-hari bahagia sebelum bencana. Seorang ibu lain yang putranya yang berusia 10 tahun baru saja meninggal.

“Sang ibu baru saja memberitahuku dengan tatapan kosong di wajahnya bahwa dia baru saja meninggal lima menit sebelumnya. Staf telah mencoba untuk menutupi tubuhnya dengan selimut tetapi dia menolak untuk membiarkannya. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu. bersamanya. Dia berduka, dia menangis, dan tetap seperti itu selama sekitar 20 menit, dia hanya tidak ingin meninggalkan sisinya,” terangnya, dikutip BBC.

Lalu ada pria berusia 50-an, terlupakan di sebuah ruangan, karena kedua kakinya diamputasi.

“Dia kehilangan anak-anaknya, cucu-cucunya, rumahnya dan dia sendirian di sudut rumah sakit yang gelap ini, belatung keluar dari luka-lukanya dan dia berteriak: 'Cacing-cacing itu memakanku hidup-hidup, tolong bantu aku. .' Itu hanya satu saja dari saya tidak tahu, saya hanya berhenti menghitung. Tapi itulah orang-orang yang masih saya pikirkan karena mereka masih di sana,” kenang Sam.

Sam Attar juga mengenang perempuan berusia 32 tahun yang mengaku menderita gizi buruk, bersama putranya, serta ibu dan ayahnya sekamar bersamanya.

Dia menjalani CPR, yakni upaya untuk menyadarkan jantungnya tetapi tidak dapat diselamatkan.

Sam adalah pria sensitif dan bijaksana berusia 40-an, putra dari dua dokter, yang lahir dan besar di Chicago dan bekerja sebagai ahli bedah di rumah sakit Northwestern di kota tersebut. Selama di Gaza dia membuat video diary dan merekam pengalamannya.

Selama dua minggu pada bulan Maret dan April lalu, atas nama LSM Palestina Amerika Bridge, ia bekerja di rumah sakit Gaza yang sangat kekurangan segalanya kecuali pasien yang terluka parah. Pada hari dia memasuki Gaza kali ini dia langsung dihadapkan pada krisis kelaparan.

“Kami hanya dikerumuni orang yang menggedor-gedor mobil, ada yang mencoba melompat ke atas mobil. Para pengemudi mereka baru saja dapat. Mereka tidak berhenti karena jika berhenti maka orang-orang akan melompat ke dalam mobil. Mereka tidak mencoba. untuk menyakiti kita. Mereka hanya meminta makanan,” ungkapnya.

Sam menceritakan pengalamannya dengan tenang, seperti yang mungkin Anda harapkan dari seorang pria yang terlatih untuk membuat pasien merasa nyaman. Setiap hari ada tekanan tanpa henti untuk melakukan triase, memutuskan siapa yang bisa diselamatkan, siapa yang tidak bisa diharapkan.

Pasien terbaring di lantai rumah sakit dikelilingi oleh darah dan perban yang terlepas, udara dipenuhi tangisan kesakitan dan kerabat yang berduka.

Tidak ada yang bisa menghapus kengerian seperti itu. Bahkan jika Anda adalah seorang dokter yang sangat terlatih dengan pengalaman masa lalu di zona perang seperti Ukraina, Suriah dan Irak.

“Saya masih memikirkan semua pasien yang saya rawat. Semua dokter yang masih ada di sana. Ada sedikit rasa bersalah dan malu saat keluar karena masih banyak yang harus dilakukan. Kebutuhannya sangat besar. Dan kamu menjauh dari orang-orang yang masih ada dan masih menderita,” terangnya.

Perjalanan terakhirnya yang ketiga ke Gaza sejak perang dimulai membawanya bergabung dengan tim medis internasional pertama yang ditempatkan di sebuah rumah sakit di Gaza utara di mana malnutrisi berada pada kondisi paling akut.

Misi tersebut diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan. Sekitar 30% anak-anak di bawah usia dua tahun dilaporkan mengalami kekurangan gizi akut, dan 70% penduduk di Gaza utara menghadapi apa yang disebut PBB sebagai bencana kelaparan.

Bulan lalu ketua Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menuduh Israel melakukan potensi kejahatan perang karena krisis pangan di Gaza.

“Besarnya pembatasan yang dilakukan Israel terhadap masuknya bantuan ke Gaza, serta cara mereka terus melakukan permusuhan, mungkin sama saja dengan menggunakan kelaparan sebagai metode perang,” katanya.

(Susi Susanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya