JAKARTA – Dominasi China yang semakin besar di kawasan Indo-Pasifik semakin menimbulkan kekhawatiran besar di kawasan. Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain seperti india, Jepang, dan Australia berupaya mengekang pengaruh Negeri Tirai Bambu dan mempertahankan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang terbuka dan bebas untuk perdagangan dan navigasi internasional.
China menggunakan Strategi Naga Biru, yang bertujuan memperluas pengaruh darat dan lautnya, menantang komitmen pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden terhadap kebebasan dan keterbukaan kawasan Indo-Pasifik. Strategi multi-aspek ini melibatkan upaya militer, ekonomi, dan diplomatik, termasuk klaim teritorial dan kemitraan strategis.
Namun, efektivitas jangka panjang strategi ini, di tengah pertentangan dari AS dan para sekutunya, belum bisa ditentukan.
Melengkapi Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), Strategi Naga Biru China adalah rencana komprehensif yang melibatkan aspek militer, ekonomi, dan infrastruktur. Strategi ini bertujuan meningkatkan konektivitas, memperkuat kehadiran angkatan lautnya, dan menegaskan dominasi di perairan regional.
Mengutip dari The Singapore Post, Rabu (19/6/2024), strategi ini menargetkan keamanan Indo-Pasifik, yang bertujuan untuk mengendalikan navigasi dan perdagangan.
Strategi ini menimbulkan tantangan bagi Taiwan, Jepang, india, dan kawasan Samudera Hindia, termasuk negara-negara ASEAN yang berada dalam klaim '9 Garis Putus-Putus' China. Meski strategi ini tampak kohesif, China mendekati setiap negara target berdasarkan kondisi uniknya tersendiri.
Seorang mantan diplomat yang menjadi akademisi di AS, Profesor Patrick Mendis, menawarkan analogi unik untuk strategi Naga Biru China. Ia menyamakannya dengan Glaucus atlanticus, siput laut kecil namun kuat yang ditemukan di lautan di seluruh dunia.
Meski bukan perbandingan langsung, sifat agresif makhluk laut itu mencerminkan strategi China. Area fokus China meliputi Laut China Timur, tempat Beijing berhadapan dengan Jepang; dan Laut China Selatan, tempat di mana China membantah klaim negara-negara ASEAN; dan Samudra Hindia, tempat ia bersaing dengan pengaruh India.
China telah mengajukan klaim atas pulau-pulau buatan dan reklamasi, yang bertujuan memperluas zona ekonomi eksklusifnya dan mengganggu perdagangan reguler, yang melanggar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Beijing telah memiliterisasi pulau-pulau kecil di Laut China Selatan dengan memasang radar pantai, pangkalan rudal, dan landasan pacu. Pulau-pulau berbenteng ini telah membuat pengerahan kapal induk China di Laut China Selatan tidak diperlukan, karena pangkalan-pangkalan ini dapat melakukan fungsi yang sama.
Ketegangan di Laut China Selatan
Strategi Naga Biru China, yang diperbarui dengan '10 garis putus-putus' pada 2023, menegaskan kendali atas 90 persen Laut China Selatan. Strategi ini mendukung penangkapan ikan secara ilegal (IUU) di ZEE negara lain, yang didukung hukum dan kekuatan Penjaga Pantai China jika diperlukan.
Penjaga Pantai China juga kerap menyusup ke pos terdepan maritim negara-negara ASEAN. Namun, Vietnam telah mengatasi perselisihan tersebut melalui diplomasi yang tenang dan non-konfrontasi.
Beralih dari sikap pasif era Rodrigo Duterte, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mulai menentang niat China terhadap pulau-pulaunya. Filipina telah menghidupkan kembali aliansinya dengan AS dan memperkuat hubungan dengan Jepang.
"Sepuluh Garis Putus-Putus" China meluas hingga perairan dekat Malaysia dan Brunei Darussalam, tetapi negara-negara ini tidak banyak memberikan perlawanan terhadap armada China yang melintasi perairan mereka. Taiwan, penggugat lain atas pulau-pulau regional tertentu, berselisih dengan China, yang menganggap para pemimpin Taiwan berupaya mendeklarasikan kemerdekaan yang didukung AS -- sebuah gagasan yang ingin ditekan China
Secara historis, Indonesia tidak secara langsung terdampak oleh "9 Garis Putus-Putus." Namun, selama masa jabatan awal Presiden Joko Widodo (Jokowi), upaya mengecilkan masalah konfrontasi dengan China ditangkal armada penangkap ikan China yang kerap merambah ke Laut Natuna. Sebagai tanggapan, Indonesia membuat gerakan simbolis, seperti mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang di sekitar Natuna.
Meski ada upaya dari Angkatan Laut Indonesia untuk mengendalikan aktivitas penangkapan ikan China, dominasi China tetap ada. Strategi Naga Biru juga mencakup Sri Lanka dan Maladewa, yang menyediakan rute bagi China dari Laut China Selatan ke Samudra Hindia bagian barat.
Perdamaian di Indo-Pasifik
China diperkirakan akan membangun sejumlah pangkalan militer di Myanmar. Sementara Gwadar, bagian dari Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC), masih dalam tahap pengembangan. Kapal-kapal China sering berlabuh di Sri Lanka dan Maladewa, khususnya selama uji coba rudal India. Kedekatan lokasi fasilitas-fasilitas ini dengan India menimbulkan kekhawatiran.
Upaya-upaya diplomatik untuk menyelaraskan negara-negara ini dengan sudut pandang India telah menghasilkan keberhasilan beragam. India mengupayakan hubungan ekonomi yang seimbang, mendesak Sri Lanka dan Maladewa untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada China, yang dapat mengancam keamanan India.
Tanggapan Sri Lanka dan Maladewa terhadap India dan China sangat bergantung pada pemerintahan mereka saat ini. Presiden sementara Sri Lanka, Ranil Wickremasinghe, berupaya menyeimbangkan hubungan dengan India tanpa menghentikan aktivitas China.
Sebaliknya, Maladewa tidak hanya mengizinkan operasi China, tetapi juga menggunakannya untuk memprovokasi India. Diplomasi India, yang dicontohkan oleh undangan Perdana Menteri Narendra Modi kepada para pemimpin kedua negara untuk menghadiri pelantikannya, telah menunjukkan kedewasaan yang terpuji.
AS, negara-negara Barat, dan negara-negara berpengaruh lainnya harus mengambil tindakan proaktif untuk melawan aktivitas agresif maritim China yang ditujukan terhadap negara-negara tetangganya. Tanpa intervensi tersebut, menjaga perdamaian dan keseimbangan strategis di kawasan Indo-Pasifik dapat menjadi semakin menantang.
(Susi Susanti)