Selama proses Pemilu dan Pilkada 2024 berlangsung, negara ini telah mengalami keadaan politik hukum yang tidak sehat, sebab kepentingan individu, kelompok dan keluarga lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Pagar pembatas potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam konstitusi dihiraukan, dan tak sedikit dilanggar maupun ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan. Menyaksikan kondisi politik hukum yang sedang terjadi, ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum. Kecurigaan publik terkait dugaan terjadinya kecurangan Pemilu dan Pilkada bukanlah spekulasi tak mendasar. Bahkan, dengan ketersediaan akses informasi melalui media sosial yang praktis publik dapat dengan cepat menerima segala bentuk informasi aktual dari berbagai wilayah dengan mudah.
Tidak sedikit temuan masyarakat mengenai pelanggaran pemilu mencuat ke permukaan media hingga viral. Namun lagi-lagi, dari maraknya laporan publik soal dugaan kecurangan pemilu tak sedikit tanggapan dari pengawas atau penyelenggara pemilu selain mendiamkan masalah hingga tenggelam dan terlupakan. Dan begitulah realitas interaksi politik yang saat ini dipertontonkan: sanksi tak bertaji dan hukum yang impotensi.
Alam, Hidup dan Manusia
Mari lupakan sejenak realitas politik tanah air Indonesia. Mari kembali merenungi, bagaimana kekuasaan sejatinya harus dikelola. Kita mesti meluruskan pandangan mengenai falsafah hidup di dunia. Ini adalah keterkaitan antara alam, hidup (nyawa), dan keberadaan manusia. Pemahaman yang benar tentang ketiganya tersebut akan membentuk cara berfikir yang positif bagi kelangsungan bangsa kedepan.
Manusia hidup di muka bumi (alam semesta) dan memerlukan pandangan yang mendalam mengenai alam semesta, hidup, dan manusia. Pasti ini menghantarkan kepada pandangan hidup yang benar, dimana system keyakinan bermasyarakat tertanam dalam ruh, akal dan jasad manusia. Alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi yang ketiganya memiliki energi tak terlihat. Alam semesta adalah materi, dan manusia juga materi. Demikian pula halnya dengan hidup, ia adalah materi. Jadi, aspek imaterial datang bukan dari zat/unsur alam, hidup, dan manusia itu sendiri, melainkan dari keberadaan ketiganya sebagai materi. Hubungan inilah yang dimaksudkan dengan aspek imaterial.
Hubungan keharusan mendirikan kekuasaan politik dan pandangan terhadap alam, hidup, dan kehidupan manusia diatas melahirkan satu pandangan baru, yakni aspek imaterial manusia. Kekuasaan politik adalah materi yang cenderung memuaskan nafsu penguasanya. Yang dimaksud dengan materi di sini adalah sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera; baik materi itu didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan waktu atau didefinisikan sebagai tenaga yang dapat menggerakkan baik tampak maupun tidak tampak. Yang menjadi pokok masalah bukanlah pada bentuk materi itu sendiri, melainkan hal yang terkait dengan hubungan alam, hidup, dan manusia. Penghubung tiga unsur tersebut adalah unsur imaterial, yakni kesadaran manusia akan hubungannya dengan di luar dirinya. Gerak imaterial ini kemudian melahirkan prilaku baik atau buruk.