Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) yang sering digunakan dalam kasus lain juga tidak berlaku dalam kasus kekerasan seksual. Sebab, hal itu dapat memperburuk trauma korban dan tidak memberikan efek jera pada pelaku.
Untuk itu, Gilang meminta aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, wajib menolak klaim perdamaian dalam kasus kekerasan seksual dan memastikan proses hukum berjalan, bukannya malah memfasilitasi perdamaian yang mencederai keadilan bagi korban.
"Aparat yang menyarankan perdamaian dalam kasus seperti ini telah menyimpang dari tugas konstitusionalnya sebagai penegak hukum,” tuturnya.
Gilang tak habis pikir dengan sikap polisi yang memediasi kasus kekerasan seksual yang berujung pada pernikahan ini. Menurutnya, praktik semacam itu merupakan bentuk ‘pembiaran sistemik’ yang menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat hukum.
"Padahal, korban sudah cukup berani bersuara dan melaporkan kejadian. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru dihadapkan pada tekanan sosial dan dibiarkan ‘menikah’ dengan pelaku, lalu diceraikan keesokan harinya," tukasnya.
“Ini bukan sekadar cacat prosedur. Ini pengkhianatan terhadap keadilan. Polisi seharusnya membawa pelaku ke jalur hukum, bukan mengatur jalan pintas yang mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya,” imbuhnya.
Diketahui, mahasiswi 19 tahun di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diduga menjadi korban pemerkosaan oleh guru ngaji berinisial J, yang juga merupakan paman korban, pada awal April lalu.