JAKARTA - Koresponden Al Jazeera, Anas al-Sharif, termasuk di antara lima jurnalis yang tewas dibunuh oleh militer Zionis Israel dalam sebuah serangan yang ditargetkan di dekat Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza. Beberapa saat sebelum terbunuh, Anas menulis pesan terakhir yang kemudian diunggah ke media sosial oleh temannya, setelah kematiannya.
"Ini adalah wasiat terakhir saya, pesan terakhir saya. Jika kata-kata saya ini sampai kepada Anda, ketahuilah bahwa Israel telah berhasil membunuh saya dan membungkam suara saya. Semoga kedamaian, rahmat, dan berkah Allah menyertai Anda. Allah tahu bahwa saya telah mengerahkan seluruh upaya dan kekuatan saya untuk menjadi pendukung dan suara bagi rakyat saya, sejak saya membuka mata terhadap kehidupan di gang-gang dan permukiman kamp pengungsi Jabalia," bunyi pesan yang diunggah di akun X Anas pada Senin (11/8/2025), sehari setelah kematiannya.
Dalam pesannya, Anas al-Sharif mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke kampung halamannya di Ashkelon atau Al-Majdal yang diduduki, bersama keluarganya. Namun, dia mengatakan, "Kehendak Tuhan adalah yang tertinggi dan penghakiman-Nya bersifat final".
"Saya telah mengalami penderitaan ini secara mendalam, dan merasakannya berulang kali. Meskipun demikian, saya tidak pernah ragu untuk menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa pemalsuan atau distorsi. Semoga Tuhan menjadi saksi bagi mereka yang tetap diam, mereka yang menerima pembunuhan kami, dan mereka yang menahan napas dan hatinya tak tergerak oleh sisa-sisa anak-anak dan perempuan kami. Mereka juga tidak menghentikan pembantaian yang telah dialami rakyat kami selama lebih dari satu setengah tahun," katanya.
Anas al-Sharif juga berpesan kepada rakyat Gaza untuk tidak dibungkam oleh pembatasan atau dibatasi oleh perbatasan.
“Kupercayakan Palestina kepadamu, permata mahkota umat Islam, jantung setiap orang merdeka di dunia ini.
Kupercayakan rakyatnya kepadamu, anak-anak mudanya yang tertindas, yang tak diberi kesempatan bermimpi atau hidup aman dan damai,
yang jasadnya yang suci telah dihancurkan oleh ribuan ton bom dan rudal Israel, terkoyak, sisa-sisanya berserakan di dinding.
Kumohon jangan biarkan rantai membungkammu atau batas-batas menghalangimu. Jadilah jembatan menuju pembebasan negeri dan rakyatnya, hingga mentari martabat dan kebebasan terbit di atas tanah air kita yang dijarah.”
Dia juga meminta masyarakat untuk menjaga keluarganya, terutama putrinya—yang belum pernah ia lihat tumbuh dewasa—putra, istri, dan ibunya.
“Kupercayakan kepadamu untuk menjaga keluargaku,
Kupercayakan kepadamu buah hatiku, putriku tercinta, Sham, yang tak sempat kulihat tumbuh seperti yang kuimpikan.
Jadilah jembatan menuju pembebasan negara dan rakyatnya, agar matahari martabat dan kebebasan dapat menyinari tanah air kami yang dirampas,” tulisnya.
"Jika aku mati, aku mati dengan teguh pada prinsip-prinsipku, bersaksi di hadapan Tuhan bahwa aku ridha dengan ketetapan-Nya, beriman dalam pertemuan dengan-Nya, dan yakin bahwa apa yang ada di sisi Tuhan lebih baik dan abadi. Jangan lupakan Gaza. Dan jangan lupakan aku dalam doa-doa kalian yang tulus memohon ampunan dan penerimaan," tulis postingan tersebut.
Bersama Al-Sharif, koresponden Al Jazeera Mohammed Qreiqeh dan juru kamera Ibrahim Zaher, Moamen Aliwa, serta Mohammed Noufal juga tewas dalam serangan Israel tersebut.
Tak lama setelah serangan itu, militer Israel mengakui telah menargetkan mereka dan melabeli Al-Sharif sebagai "teroris" yang "bertugas sebagai kepala sel teroris di Hamas".
"Teroris Hamas, Anas al-Sharif, yang menyamar sebagai jurnalis Al Jazeera, adalah kepala sel teroris Hamas dan penyerang roket canggih terhadap warga sipil Israel dan pasukan IDF. Intelijen dan dokumen dari Gaza, termasuk daftar nama, daftar pelatihan teroris, dan catatan gaji, membuktikan bahwa ia adalah seorang agen Hamas yang terintegrasi dengan Al Jazeera," tulis Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di X.
Reporters Without Borders, sebuah kelompok kebebasan media, mengutuk keras apa yang disebutnya sebagai pembunuhan Sharif.
Asosiasi Pers Asing menyatakan kemarahannya atas pembunuhan yang ditargetkan tersebut. Mereka menyatakan bahwa militer Israel telah berulang kali melabeli jurnalis Palestina "sebagai militan, seringkali tanpa bukti yang dapat diverifikasi".
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan terkejut dengan serangan tersebut dan bahwa Israel telah gagal memberikan bukti untuk mendukung tuduhannya terhadap Sharif.
CPJ mengatakan setidaknya 186 jurnalis telah tewas sejak dimulainya serangan militer Israel di Gaza pada Oktober 2023 — periode paling mematikan bagi jurnalis sejak Israel mulai mencatat data tersebut pada 1992.
(Rahman Asmardika)