Ledakan di SMAN 72, Pakar: Aksi Ini Ada Kaitannya dengan Radikalisasi Online

Arief Setyadi , Jurnalis
Kamis 13 November 2025 17:33 WIB
Ledakan di SMAN 72 Jakarta (Foto: Dok Okezone)
Share :

JAKARTA – Ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta pada Jumat 7 November 2025. Puluhan orang didominasi siswa menjadi korban dan satu orang ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Menurut pakar terorisme Noor Huda Ismail, aksi tersebut tak terlepas dari fenomena radikalisasi di dunia maya. Terduga pelaku diduga terpengaruh ideologi ekstrem melalui penyebaran konten serta manifesto teroris di media sosial.

“Aksi ini ada kaitannya dengan radikalisasi online, terutama dari penyebaran konten, dari manifesto teroris,” ujar Huda, dikutip Kamis (13/11/2025).

Huda menambahkan, jika manifesto yang ditemukan benar dibuat pelaku dan memiliki keterkaitan dengan motivasi politik tertentu, maka peristiwa tersebut bisa digolongkan sebagai tindakan terorisme.  “Tapi bisa jadi yang bikin bukan dia. Kita tunggu saja investigasinya,” katanya.

“Kelompok ini selalu ingin mendapatkan dukungan dari luar lingkarannya. Nah, media sosial itu kan murah dan bisa menjangkau secara luas. Dan yang paling penting, kalau mereka lakukan aktivitas secara offline kan mulai ketat pengawasannya,” ujarnya. 

Ia menjelaskan, kelompok radikal menggunakan media sosial bukan hal aneh. Hal yang perlu dipahami, media sosial itu memiliki jangkauan yang luas bagi kelompok tersebut. “Jangan pernah berpikir mereka itu orang aneh. Mereka menggunakan media sosial sama persis praktiknya seperti pengusaha atau pebisnis menggunakan media sosial untuk mendapatkan jaringan, mudah dikenal, dan mempermudah akses ke pendukungnya,” katanya.

Jamaah Ansharut Daulah (JAD), jaringan yang berafiliasi dengan ISIS, kata Huda, menjadi salah satu kelompok paling aktif menyebarkan propaganda di ruang digital. Kendati, proses radikalisasi sudah semakin kompleks.

“Di dunia global, ada istilah Salad of Radicalisation. Jadi, mereka yang teradikalisasi itu mengambil ideologi dari berbagai macam kalangan. Ada yang dari kelompok Islam radikal, ada yang dari kelompok kiri radikal, dan ada yang dari kelompok nasionalis radikal,” tuturnya.

Huda menambahkan, mereka memiliki tujuan utama membangun legitimasi terhadap ideologi kekerasan dan menumbuhkan kebencian kepada pihak yang dianggap musuh. “Mereka menganggap pemerintah yang tidak sejalan dengan pandangan mereka sebagai thogut, musuh yang sah untuk diserang. Aparat dan kelompok minoritas juga kerap jadi sasaran,” ujarnya.

Huda juga menilai BNPT tidak dapat bekerja sendirian dalam menghadapi penyebaran paham radikal di media sosial. Ia mendorong adanya kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan perusahaan teknologi. 

“BNPT perlu bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemilik platform seperti Meta, TikTok, dan Instagram. Jadi, kalau ada konten yang mengandung radikalisme bisa langsung diblokir,” tegasnya.

Kerja sama dengan institusi pendidikan juga dinilai penting untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. “Perlu memberikan pemahaman tentang dunia digital yang memang berbeda dengan dunia nyata, seperti bagaimana algoritma bekerja dan efek filter bubble,” tuturnya.

Masyarakat juga harus bisa lebih kritis terhadap segala informasi yang tersebar di media sosial. Langkah-langkah tersebut menjadi sebuah upaya pencegahan yang dilakukan sekarang.

“Apa yang kita lihat di media sosial itu tidak selalu benar dan nyata. Semua menuntut kita untuk memahaminya dalam konteks yang benar. Misalnya, narasi tentang pembelaan umat yang tertindas, kita harus memberikan konteks agar tidak mudah terseret propaganda,” tuturnya.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya