Menurutnya, KUHAP juga perlu membuka kemungkinan pembentukan mekanisme pengujian admisibilitas terhadap alat bukti tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa alat bukti diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut, dan tidak melanggar hukum maupun kesusilaan.
“Terakhir, KUHAP tidak mencantumkan ketentuan tegas terkait konsep koneksitas untuk menjembatani perkara pidana yang melibatkan anggota militer dan sipil secara bersama-sama. Koneksitas diperlukan untuk mengatur yurisdiksi (peradilan umum vs peradilan militer) berdasarkan ‘titik berat kerugian’,” ujar Anis.
“Makna dari ‘titik berat kerugian’ sebagai dasar menentukan apakah suatu perkara akan diadili di peradilan umum atau militer harus diperjelas, serta perlu adanya transparansi lebih besar dalam penanganan perkara sipil–militer,” pungkasnya.
(Awaludin)