JAKARTA - Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Mahkamah Agung melakukan pertemuan dalam rangka membahas Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai justice collaborator dan whistle blower.
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan, pembahasan terkait Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2011 mengenai upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi serta perlindungan terhadap whistle blower.
"Itu yang kita rumuskan disini. Mudah-mudahan nanti hasilya bisa diselesaikan sebelum Desember 2011.Keluaran produknya ya SKB, bisa jadi nanti entah SKB ini diharapkan akan menjadi pegangan teknis bagi seluruh aparat penegak hukum dalam menangani, memperlakukan, melindungi seorang whistle blower atau saksi pelapor dan juga justice collaborator," kata Semendawai di Kantor Kejaksaan Agung, Selasa (11/10/2011).
Dijelaskannya, hingga kini definisi mengenai justice collaborator sedang dalam pembahasan. Sehingga belum ada definisi yang definitif.
“Tapi intinya dia seorang saksi, bisa jadi dia pelaku tetapi dia mau bekerjasama dengan penegak hukum, bekerjasama dalam rangka membongkar suatu perkara. Bahkan dia mau mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya," terangnya.
Saat ditanya, bagaimana kalau yang bersangkutan pelaku yang menjadi tersangka kemudian karena penetapan status tersangka itu dia mengungkapkan kasus, Semendawai mengatakan persyaratan dan kriteria mengenai hal itu masih akan dibahas.
"Semuanya masih kita rumuskan sehingga dalam pelaksanaannya nanti tidak seperti sebelumnya, gagap kita kan agak gagap menghadapi itu karena aturannya sendiri tidak jelas," papar dia.
Hingga saat ini kata dia LPSK telah menerima sebanyak 270 permohonan perlindungan saksi, yang sebagian besar terkait tindak pidana korupsi.
(Insaf Albert Tarigan)