Menurutnya, belum terlihat upaya serius pemerintah dalam mengembangkan investasi swasta di Aceh setelah tsunami, meski potensinya besar sekali. Dicontohkannya, luas laut Aceh yang mencapai 200 mil, jika digarap serius bisa menampung banyak tenaga kerja.
Aceh juga dinilai memiliki potensi investasi besar di sektor energi, karena ada banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) di sini. “DAS ini kalau digarap bisa menghasilkan energi listrik katakanlah 3.500 mega watt, bisa menutup krisis listrik di Sumatera selama ini.”
Aceh setelah konflik dan tsunami memiliki peluang besar untuk menumbuhkan perekonomiannya lebih baik lagi. Dikarenakan ada banyak sumber pendanaan, salah satunya lewat dana otonomi khusus sekira Rp6 triliun yang setiap tahunnya dikucurkan oleh pemerintah pusat.
Sayangnya, hingga kini pertumbuhan masih melempem. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Aceh dengan minyak dan gas hanya 4,18 persen. Sedangkan tanpa migas 5,36 persen. Jauh dari target yakni 6,5 persen. Pada triwulan III 2014, pertumbuhannya juga mengecewakan, dengan migas hanya tumbuh 0,55 persen, sementara tanpa migas pertumbuhannya 1,79 persen.
Setelah tsunami menerjang Aceh, berbagai bencana juga terus menggerogoti provinsi itu. Salah satunya banjir dan tanah longsor, yang diklaim terjadi akibat banyaknya perambahan hutan setelah konflik. Bencana ini ikut berkontribusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah sektor pertanian yang pada triwulan III lalu pertumbuhannya menurun 0,72 persen.