Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Bemo, Transportasi Sederhana yang Tergilas Zaman

Rus Akbar , Jurnalis-Selasa, 24 Maret 2015 |07:03 WIB
Bemo, Transportasi Sederhana yang Tergilas Zaman
Agus dan bemonya (foto: Rus Akbar/Okezone)
A
A
A

PADANG - Pong...pong..pong!!! Bunyi cempreng disertai asap putih keluar dari knalpot sebuah becak motor yang biasa disebut bemo. Ya bemo, transportasi tua dengan roda tiga yang pernah berjaya di tahun 1970 sampai 1980.

Meski memakai pelat kuning yang menunjukkan kendaraan itu sebagai angkutan umum, tak ada lagi penumpang yang mau menaikinya. Penumpang kini beralih ke moda transportasi lain, seperti angkot gaul dan ojek.

“Dulu kita mengangkut ibu-ibu yang pulang ke pasar dan menuju pasar, tapi kini, kita mengangkut barang dagangan. Kadang ada yang sewa, kadang barangnya kita yang angkut,” tutur lelaki paruh bayah, Agus (65) pada Okezone.

Agus saat itu berada di belakang Mapolresta Padang, Sumatera Barat. Dengan mata menerawang, Agus mencoba mengingat bagaimana pamor bemo perlahan-lahan hilang. Menurutnya, bemo mulai kehilangan pamor pasca-gempa bumi 2009 mengguncang Sumbar.

Saat itu, terminal khusus untuk bemo rata dengan tanah. Ironisnya, Pemkot Padang tidak lagi membangun bahkan seperti tidak lagi memikirkannya. Padahal jalur itu beda dengan angkutan kota lainya.

“Setelah terjadi gempa, kondisi bemo ini udah semerawutan, tidak ada lagi terminalnya. Kalau dulu ada sekitar 300 unit lebih bemo, kemudian berkurang menjadi 44 dan akhir tahun 2009 tinggal enam itu pun jarang dipakai kebanyakan dimuseumkan bahkan mungkin dijual sama orang lain,” tuturnya.

Agus mengaku, dulunya bemo merupakan tumpuannya menghidupi keluarga. Namun, sejak tidak beroperasi, bemo lebih sering mangkal di rumah. Sesekalilah ia dan bemonya bernostalgia, bila ada warga yang memintanya mengantar barang seperti saat ini.

Sekarang ini Agus bekerja membantu istrinya berjualan lontong di rumah mereka di Jalan Sisingamangaraja, Kelurahan Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat.

Agus kembali mengenang masa jayanya saat menjadi sopir bemo sejak tahun 1981. Saat itu, banyak sekali penumpang yang membutuhkan jasanya karena angkot masih jarang apalagi ojek.

“Dulu sehari bisa menghasilkan Rp100 ribu sampai Rp120 ribu, kini sudah tidak ada lagi,” tuturnya.

Agus mengaku mendapatkan bemo tersebut dengan cara membeli dari seorang teman. Kalau dulu harganya setara 120 emas. Satu emas pada tahun 80an harganya Rp5.000.

“Jadi kalau dirupiahkan ada sekitar Rp600 ribu. Kalau suku cadangnya kita sendiri yang cari dan perbaiki sendiri sebab tidak ada bengkel khusus untuk bemo ini,” pungkasnya.

(Risna Nur Rahayu)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement