Pun begitu, bukan berarti spirit mereka untuk terus mengobarkan rasa kebangsaan luntur. Di bawah pimpinan R. Maladi, mereka sering menyiarkan lagu-lagu bernuansa perjuangan, seperti “Ayak-ayakan Kaloran” dan gending “Puspawarna”.
Tapi kemudian, R. Maladi pun sering dipanggil pemerintah pendudukan Jepang akibat siaran-siaran SRV itu. Adapun pasca-pendudukan Jepang berakhir, SRV jadi corong penyiaran kemerdekaan Indonesia ke dunia luar.
Demi mencegah direbutnya SRV di Solo oleh sekutu dan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, SRV yang berganti nama menjadi RRI pada 11 September 1945, memindahkan sejumlah perangkat ke Desa Balong, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dari situlah berita kemerdekaan ditransmisikan menuju Bukittinggi, Sumatera Barat dan kemudian ke Aceh. Dari negeri Serambi Mekah itu, berita kemerdekaan Indonesia bisa terdengar sampai ke Singapura, India dan kemudian PBB.
Berita-berita tentang perlawanan militer dan rakyat Indonesia terus bisa disiarkan, kendati terdapat beberapa upaya pembungkaman dari Belanda. Contohnya pada 25 November 1945, di mana sekutu mencoba membom markas RRI di Solo. Beruntung, saat itu R. Maladi sudah memindahkan markas RRI ke Tawangmangu.
(Randy Wirayudha)