MASIH jadi spekulasi soal keterlibatan Sultan Hamid II pada pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Bandung dan Jakarta, 23-24 Januari 1950. Tapi yang pasti, peristiwa itu menyeret Sultan Hamid divonis Mahkamah Agung (MA) dengan kurungan penjara 10 tahun pada 8 April 63 tahun lalu.
Sultan Hamid ditangkap di Hotel Des Indes pada 5 April 1950, tak lama setelah bertemu Westerling, perwira Belanda berpangkat kapten yang memimpin gerakan makar dengan pasukan RST-nya (Regiment Speciale Troepen)
Apa yang membuat Sultan Hamid II bisa berkontak dengan Westerling, sedianya terjadi pada Desember 1949. Dalam otobiografinya, “Mémoires”, Westerling pernah meminta Sultan Hamid memimpin gerakan makar mereka. Tapi karena tak diterangkan secara detail, Sultan Hamid II tak memberi respons positif soal ‘ya atau tidak’ untuk bergabung.
Masih dalam otobiografi Westerling yang rilis pada 1952, sedianya Kabinet Bayangan sudah terbentuk di bawah pimpinan Sultan Hamid II, jika mereka bisa menggulingkan Kabinet Hatta.
Penguasa Kesultanan Pontianak bernama lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie justru tercoreng namanya akibat kasus tersebut, setelah sebelumnya mencetuskan lambang negara “Garuda Pancasila”.
Tragedi APRA merenggut tak sedikit nyawa para anggota dan perwira TNI di Bandung, pada 23 Januari 1950. Sementara sehari setelahnya, RST di bawah komando Sersan Meijer, berencana menggeruduk Sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat di Jakarta.
Selain mengusik Sidang Dewan Menteri RIS, Meijer cs berencana membunuh sejumlah tokoh, macam Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Kemenhan Ali Budiardjo, serta Kastaf TNI Kolonel Tahi Bonar Simatupang.
Gerakan APRA di Jakarta gagal, lantaran sejumlah kolaborator mereka seperti DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan pasukan liar eks-KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang diharapkan tidak muncul.
Kudeta pun gagal dan Westerling sempat menyusul ke Jakarta untuk kemudian bertemu Sultan Hamid II dan sekretarisnya, Dr. J. Kiers di Hotel Des Indes. Dari berbagai sumber, di sinilah Sultan Hamid II mengamuk dan mengecam tindakan Westerling.
Omelan Sultan Hamid II tak menuai respons apapun dari Westerling yang kemudian, berhasil kabur ke Singapura dengan bantuan milisi keturunan Tionghoa pro-Belanda, Po An Tui.
Atas kejadian ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta melayangkan protes kepada Hirschfeld sebagai perwakilan sekutu dan menerangkan bahwa pemerintah RIS, akan memerintahkan penangkapan terhadap para antek Westerling.
Peristiwa APRA dan diberhentikannya Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara ‘Zonder Portfolio’, sempat juga sampai ke telinga media asing. Surat kabar seperti Melbourne Sun dari Australia pada 23 Januari, pernah mengangkat kasus itu lewat koresponden Reuters, Osmar White:
“Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara,” tulis headline di surat kabar Melbourne Sun.
Peristiwa itu juga jadi pukulan buat Belanda dalam pergaulan internasional. Dubes Belanda untuk Amerika Serikat, van Kleffens, pernah merasa bahwa pemerintahnya dianggap licik oleh masyarakat AS akibat serangan di Bandung dan Jakarta itu.
(Randy Wirayudha)