DEPOK – Prostitusi online bukan menjadi barang baru di era digital saat ini dan sudah mengalami pergeseran sejak kehadiran jejaringan sosial. Kasus kematian Alfi Sahrin alias Deudeuh alias Empi merupakan salah satu praktek transaksi lendir di dunia maya ini, yang terungkap.
Demikian disampaikan Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati. Devie menjelaskan, setelah kehadiran jejaringan sosial Facebook dan Twitter telah merubah banyak hal di antaranya profil para penjaja seks komersial saat ini. Hal ini, berdampak pada pola marketing dan transaksi para penjaja seks via online kepada para pelanggan.
“Tidak terbantah lagi jika cara bertransaksi, pola marketing, dan profil para pelaku prostitusi online mengalami pergeseran,” kata Dosen UI itu, Kamis (16/4/2015).
Devie menambahkan, di masa lalu para PSK didominasi oleh individu dengan latar belakang pendidikan rendah, berangkat dari keluarga tidak mampu, dan menjadikan prostitusi sebagai full time job (pekerjaan tetap).
Akan tetapi, berdasarkan riset di luar negeri, kata Devie, adanya sarana online para penjaja seks komersial saat ini, terbuka bagi setiap kalangan dapat masuk untuk menjajakan diri sebagai pekerja seks komersial. Kondisi ini pun sudah terjadi di beberapa kota besar di Indonesia.
“Termasuk mereka (PSK) dari kalangan berpendidikan, profesi apapun termasuk ibu rumah tangga, dan para penjaja seks online ini, tidak semuanya full time, banyak juga yang part time (paruh waktu),” paparnya.
Penulis buku ini melanjutkan, dalam riset di negara lain, banyak penjaja seks yang melakukannya saat sedang membutuhkan tambahan uang saja. Artinya, tidak penuh untuk terjun dalam prostitusi. Sebab, sifat dunia online yang anonim, membuat para penjaja seks ini merasa nyaman.
“Mereka yang terjun ke profesi ini tidak khawatir diketahui oleh banyak pihak, bahwa dia pernah melakukannya di kesempatan tertentu. Yang sesuai dengan pilihan dirinya,” ungkapnya.
(Muhammad Sabarudin Rachmat (Okezone))